Wednesday 14 October 2015

Partai IDAMAN H Rhoma Irama Sudah Sesuai Syariah?

© Ilustrasi : sumber

Satu lagi Partai Islam berdiri di negeri ini, Partai dengan nama Partai Islam Damai Aman (IDAMAN) dengan ciri khas musik dadutnya, hari Rabu (14/10/2015) mendeklarasikan berdiri secara resmi. Partai ini di motori oleh seorang pedangdut kondang sekaligus penceramah rohani yang tidak asing lagi bagi kita, bahkan beberapa waktu lalu senter di kabarkan sebagai calon presiden dari Partai PKB tapi tidak jadi, siapa lagi kalau bukan Raja Dangdut H. Rhoma Irama. Melalui visi misinya "Bersatulah, Kita Adalah Satu, Reformasi, Indonesia dan Pembaharuan" bang Rhoma berharap mendapatkan simpati dan dukungan yang luas dari masyarakat Indonesia. (baca : Sambil.Dangdutan.Rhoma.Irama.Sampaikan.Visi.Misi.Partai), dengan berdirinya partai ini tentunya telah lahir lagi satu partai yang brazaskan Islam, dan kini makin banyak pilihan bagi kita untuk memilih partai Islam mana yang akan kita berikan aspirasinya.

Negara kita yang menganut sistem demokrasi Pancasila tentunya adalah hak bagi setiap individu untuk membentuk partai politik baru, asalkan memenuhi persyaratan sesuai pasal 2 UU no 2 tahun 2011 tentang partai politk (baca : syarat-mendirikan-parpol). 

Bagi saya sebagai warga negara yang baik tentunya akan mengikuti semua aturan yang berlaku di negeri ini, selama payung hukum yang brlaku adalah jelas dan bisa menjadi kemaslahatan ummat serta masyarakat Indonesia, saya pun akan memilih dan memberikan aspirasi saya terhadap salah satu partai islam yang ada di negeri ini, walaupun dalam Islam masih ada kontroversi terkait masuknya muslimin terhadap legalitas partai politik.

Pro dan Kontra Seputar Hukum Partai



1. Pihak yang mengharamkan.

1. FATWA ULAMA TENTANG HARAMNYA HIZBIYAH [BERPARTAI-PARTAI][8]

Apa hukum berbilangnya jama’ah (hizbiyah) dan kelompok didalam Islam, dan apa hukum berafiliasi padanya?

[1]. Lajnah Da`imah lil Ifta’ (Komite Tetap Urusan Fatwa) yang diketuai oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu yang beranggotakan : Syaikh Abdur Razaq Afifi Rahimahullahu, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Hasan bin Qu’ud menjawab tentang haramnya hal ini di dalam fatwa no 1674 (tanggal 7/10/1397) sebagai berikut :

“Tidak boleh memecah belah agama kaum muslimin dengan bergolong-golongan dan berpartai-partai… karena sesungguhnya perpecahan ini termasuk yang dilarang oleh Allah, dan Allah mencela pencetus dan pengikut-pengikutnya, serta Allah janjikan pelakunya dengan siksa yang pedih. Allah Ta’ala berfirman :


واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا(ال عمران:103)
Artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [Ali Imran : 103]

Dan firman-Nya :

ولاتكون وا كالذين تفرقواواختلفوا من بعد ماجاءهم البينات واولئك لهم عذاب عظيم(ال عمران:105)
Artinya : “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” [Ali Imran: 105]

Serta firman-Nya :
ان الذين فرقوا دينهم وكانو شيعا لست منهم في شيء(الأنعام:159)

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” [Al-An’am : 159]

Adapun para penguasa kaum muslimin, jika mereka yang mengurus dan mengelola aktivitas agama dan duniawi di tengah-tengah mereka. Maka yang demikian ini disyariatkan.”

[2]. Di dalam Majmu’ Fatawa Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu (Juz V/202-204), beliau menjawab dengan terperinci pertanyaan ini. Beliau Rahimahullahu berkata :

“Sesungguhnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan kepada kita jalan yang satu, yang wajib bagi kaum muslimin menempuh jalan tersebut, yaitu jalan Allah yang lurus dan manhaj agama yang benar. Allah Ta’ala berfirman :

وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله (الأنعام:153)

Artinya : “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.” [Al-An’am : 153]

Maka wajib bagi seluruh ulama kaum muslimin untuk menerangkan hakikat ini, berdiskusi dengan tiap jama’ah dan menasehati seluruhnya supaya mereka mau meniti jalan yang telah digariskan Allah kepada hamba-Nya dan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menyeru padanya. Barang siapa menyeleweng dari jalan ini dan terus menerus menentangnya, maka wajib bagi orang yang mengetahui hakikatnya untuk menyebarkan kesalahannya, mentahdzir umat darinya, sampai manusia menjauh dari manhajnya dan sampai tidak turut masuk bersama mereka orang-orang yang tidak mengetahui hakikat keadaan mereka sehingga mereka tersesat dan berpaling dari jalan yang lurus. Jalan yang mana Allah memerintahkan kita untuk mengikutinya. Tidak ragu lagi, bahwasanya kebanyakan kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah di negeri-negeri Islam termasuk perkara yang disenangi oleh syaithan, ini yang pertama, dan yang kedua, perkara ini disenangi oleh musuh-musuh Islam dari kalangan manusia.”

[3]. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu memiliki fatwa yang serupa di dalam fatwa beliau (hal. 196 – cetakan Mesir), beliauRahimahullahu berkata: “Tidak tersembunyi bagi setiap muslim yang mengetahui Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan yang dipegang oleh Salafuna ash-Sholih Radhiyallahu ‘anhum bahwasanya tahazzub (berpartai-partai) dan membentuk jama’ah-jama’ah yang beraneka ragam manhaj dan cara-caranya, bukanlah bagian dari Islam sedikitpun. Bahkan hal ini termasuk perkara yang dilarang oleh Rabb kita Azza wa Jalla di dalam banyak ayat di dalam al-Qur’an al-Karim.”

[4]. Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin Rahimahullahu memiliki fatwa yang serupa yang tersebar di dalam kitab Ash-Shohwah Islamiyyah Dlowabith wa Taujihaat (hal. 154), beliau Rahimahullahu berkata : “Tidak ada di dalam Kitabullah dan as-Sunnah yang memperbolehkan berbilangnya jama’ah dan kelompok. Sesungguhnya yang terdapat di dalam al-Kitab dan as-Sunnah adalah yang celaan terhadap hal ini. Allah Ta’ala berfirman :

كل حزب بما لديهم فرحون(المؤمنون:53)

Artinya : “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” [Al-Mu’minun : 53]

Tidak ragu lagi, bahwasanya kelompok-kelompok ini meniadakan apa yang diperintahkan Allah, bahkan apa yang dianjurkan oleh-Nya di dalam firman-Nya Ta’ala :

ان هذه أمتكم أمة واحدة  وأنا ربكم فاعبدون(الأنبياء:92)

“Artinya : Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku “ [Al-Anbiya’ : 92]

[5]. Syaikh DR. Sholih al-Fauzan (anggota Lembaga Ulama Senior) memiliki fatwa yang serupa, yaitu ucapan beliau : “Tafarruq (bergolong-golongan) bukanlah bagian dari agama, karena agama memerintahkan kita untuk bersatu, dan hendaknya kita menjadi jama’ah yang satu dan umat yang satu di atas aqidah tauhid dan penauladanan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Allah Ta’ala berfirman :

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا(ال عمران:103)

“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [Ali Imran : 103]

2. Dr. Sulaiman al-Thamawi berkata[9]:” Tidak diragukan lagi bahwa undang-undang Islami dan minimal pada awal Islam tidak mengenal atau (bahkan) membolehkan partai-partai baik satu partai maupun banyak. Falsafah Islami sudah ditetapkan dalam Kitab Allah  dan sunnah Rasul-Nya. Posisi hakim pada peletakan politik hanyalah sebatas pelaksana saja. Padahal perbedaan dikalangan Muslim-minimal pada masa itu-akan tetapi perbedaan tidak sampai kepada sarana-sarana dan akan tetapi tidak sampai kepada tujuan atau falsafah umum bagi hukum. Pada sektor ini engkau dapati bahwa metode yang diikuti pada masa Umar (Radliyallahu ‘Anhu) ialah metodee kritik diri dengan sarana-sarana yang tersedia pada masa itu.

3. Abul A`la al-Maududi berkata dalam kitabnya yang berjudul Nadhriyatul islam al-Siyasiyah (Teori politik Islam) sebagai berikut[10]:”Dan pada majlis syuro Islam tidak mungkin para anggotanya terbagi-bagi menjadi beberapa jama`ah atau berpartai-partai, akan tetapi tiap orang mengemukakan pendapatnya dengan benar berdasarkan atas nama pribadi(tunggal). Sesungguhnya Islam melarang terbagi-baginya ahli syuro kepada beberapa partai dan(masing-masing membela) partainya, baik dalam kondisi benar maupun bathil, akan tetapi yang dituntut dalam ruh Islam hendaknya mereka berkisar pada kebenaran yang mana mereka tidak berpaling darinya selamanya walau sehelai rambut.

4. Abul Hasan al-Nadawi berkata[11]:”Sesungguhnya dalam Islam tidak ada ruang bagi apa saja dari macam revolusi baik personal maupun secara kekeluargaan sebagaimana kita dapati pada bangsa Timur atau pada daerah Islam. Tidak ada tempat untuk revolusi sistematis sebagaimana yang kita jumpai di Eropa, Amerika dan Rusia, yang mana di rusia merupakan revolusi dari beberapa partai, dan di Amerika revolusi kapitalis, sedangkan di Rusia revolusi minoritas yang percaya pada ideologi Komunisme yang konservatif dan memaksakan dirinya atas mayoritas, ia berinteraksi dengan buruh dan napi dengan interaksi yang kasar, biadab dan aneh, yang mana tidak ada bandinganya pada sejarah kerja rodi yang dhalim.

5.Syekh Bakar bin `Abdullah Abu Zaid berkata dalam bukunya Hukmul intima` ila al-Firaq wa al-Ahzab wa al-Jama`at al-Islamiyyat [12] :
“Sesungguhnya terpecahnya partai menjadi lebih dari satu akan menimbulkan perbedaan (akan rumus, simbol, manhaj dan perencanaan) atau sebagian kecil darinya dari manhaj kenabian, sekalipun di liputi dengan niat yang baik dan tujuan yang bersih. Dalam Islam hal itu tidak di perbolehan dari segi prinsipal-insyiqaaq (perpecahan) atau dengan keseluruanya. Agama Allah itu (berasal dari kitab dan sunnah nabi-Nya, sebagaimana tidak di tolerirnya perbedaan dalam al-kitab (al-Quran) demikian juga kita tidak boleh berpecah dalam bidang penyebaran dakwah kepada-Nya, karena tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara, sedangkan sarana-sarana itu memiliki hukum-hukum dan tujuan-tujuan, karena itulah sarana dan tujuan harus sejalan dengan perspektif syar`i, baik dari sisi penerimaan ataupun penolakan.
  
Pada hal-hal berikut ini akan di kemukakan beberapa bahaya partai:

a. Ketahuilah bahwa setiap melakukan pekerjaan itu tidak lepas dari motif. Sedangkan motif tidak akan ada melainkan dengan qanaah, sedangkan qonaahharus mu`tabar (teranggap) sedangkan i`tibar itu tidak teranggap melainkan dengan dilalah syar`i atasnya.
Karena itulah masing-masing golongan mengemukakan dasar-dasar dan manhajnya berdasarkan ushul syariah beserta kaidah-kaidahnya. Untuk mengetahui seberapa jauh perpecahan mereka dari jamaah muslim baik pada rasm (bentuk) dan nama, jangan sekali-kali mengkritik dengan keras pada golongan apapun melainkan dalam perspektif  berhenti kepada ushul dan manhajnya dari kitab dan sejarahnya dalam beramal dan dakwah. Kemudian memaparkanya berdasarkan manhaj kenabian yaitu al-kitab dan as-sunnah.
Dari luar kesadaran ini bagi prinsip taswigiyyah(pembenaran jastifikasi) yang menggunakan nash untuk (kepentingan) jamaah apapun dan sistem apapun, ini adalah manhaj terbalik karena pada asalnya secara syar`i adalah beramal dengan dalil.

Maksud dari pernyatan diatas adalah bahwa masing-masing dari partai dalam merumuskan manhaj dan ushul partainya mengambil justifikasi dari nash syar`iini sangat berbahaya karena yang benar adalah mengamalkan dalil yang sudah ada bukan merumuskan terlebih dahulu baru mencari pembenaran dari dalil-dalil syar`i.

b. Kesalahan terparah ialah bahwa dalam partai itu ada al-wala` dan al-bara`nya sedangkan poros partai dalam hal al-wala` dan al-bara` termasuk menyakiti Allah dan Rasul-Nya, dan dia merupakan padanan dari perpecahan yang di hapus oleh Islam.     

c. Firqah dalam Islam tidak akan berdiri melainkan atas dasar perbedaan dalam al-kitab (al-Quran), sedangkan perbedaan itu sendiri dapat menimbulkan kebinasaan dan perpecahan yang amat jauh. Islam tidak mengenal perpecahan pada segenap bidangnya yang demikian karena ke universalan dan kesempurnaanya. Jika ada perbedaan, maka akan terjadi benturan pemikiran dan kekacauan pendapat yang mengakibatkan perpecahan umat menjadi beberapa partai yang berlawanan. 

d. Partai merupakan perkara bid`ah yang tidak dikenal pada masa pertama. Partai-partai itu tidak lain merupakan perpanjangan dari faktor westernisasi pada realitas kehidupan yang pahit di Eropa, Amerika dan Rusia.

e. Bergabung pada partai dapat menghancurkan Islam. Hal ini tidak biasa di lihat melainkan pada sela-selanya (komponen-komponen yang ada didalamnya) yaitu perkumpulan sejumlah orang, kepemimpinan tertentu, pada bingkai tertentu dan terkadang tidak mengambil dari petunjuk Nabi melainkan sekelumit saja.    

f. Setiap partai menyembunyikn dirinya pada rumus, simbol gelar tertentu, hal ini dapat menghalanginya dari nama yang universal:

هو سماكم المسلمين(الحج:78)
“Dialah(Allah) yang telah memberinama kamu muslimin(QS.al-Haj78)
Maka pembuatan nama dengan nama yang sempit dari wilayah Islam yang luas merupakan aib yang wajib terbebas darinya sesuai dengan manhaj Islam dan bingkai umum.

g. Ta`addud (lebih dari satu partai) dapat menimbulkan perpecahan, sedangkan perpecahan akan menimbulkan perselisihan yang dapat mengakibatkan kegagalan dan kelemahan.

ولا تنازعو فتفشلو وتذهب ريحكم(الأنفال:46)
“Dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang”(QS: al-Anfal:46)

h. Partai dapat menghancurkan persaudaraan

Dengan melihat bahaya-bahaya yang terkandung diatas, maka hukum berpartai adalah haram.

6. Syekh al-Allamah al-muhaddist Abu Abdu Rahman Yahya bin Ali al-Hajuri berkata[13]:   
”Mereka para aktifis partai masuk pada parlemen, sebelum mereka masuk parlemen mereka melalui fase-fase berikut:

1. Pertama      : Setuju terhadap hukum positif
2. Kedua         :Setuju dengan berhukum pada selain Allah, yang mana para aktifis parpol aktif dialog undang-undang, dari sisi hukum yang berlaku.
3. Ketiga         :Mencampakkan syariah Allah untuk pemungutan suara.
4. Keempat     : jika pemungutan suara untuk berhukum dengan selain syariat Allah maka mereka sungguh telah terjatuh pada kesesatan yang  nyata.
            Orang yang menganggap terlepas dari itu sedang ia terjatuh didalamnya, dan kita perhatikan bahwa mereka para aktifis parpol yang mewakili agama-sebagaimana anggapan mereka- menyetujui keputusan-keputusan yang menyalahi al-kitab dan as-sunnah, demikian juga dalam hal pembelanjaan perdagangan dan perekonomian yang mengakui transaksi dengan riba dan keluarnya perempuan, mereka juga menyetujui KB, kemudian-yang lebih besar dari itu-mereka memberi baju demokrasi dengan syariat Islam dakwah apakah yang mereka lakukan bertahun-tahun? Ambisi mereka adalah membela parpol, dan bukan didedikasikan untuk agama, kemudian majlis ini didirikan untuk memenangkan agama atau didirikan berdasarkan pemungutan suarayang batil dan menyebarkanya. Dan Demokrasi itu apakah datang untuk menjaga dan menyeru pada agama Islam apa menggantikanya? kemudian kapan mereka akan membela harga diri kaum muslimin? Bukankah zina dan khamr telah beredar luas, disebabkan pemungutan suara atas prinsip-prinsip kebebasan mutlak, ini merupakan pertanyaan yang saya lontarkan pada mereka, supaya mereka kembali pada petunjuk mereka jika mereka objektif. (penulis: dari pendapat beliau tersebut secara implisit beliau tidak setuju dan mengharamkan parpol, wallahu a`lam)


2.Pihak Yang Membolehkan:

1. Dr. Muhammad Dhiya`uddin Ra`is berkata[14]:”Terpecahnya umat menjadi beberapa golongan dan berpartai-partai merupakan satu bukti akan (adanya) enerjisitas dan kekuatan yang tersimpan, demikian juga menunjukkan bahwa mereka sudah siap untuk berkembang dan maju. Kemudian Dia berkata: ”Hampir tidak seorangpun pada masa ini menggambarkan demokrasi tanpa adanya pertentangan atau beberapa partai pesaing  yang saling menyerang satu sama lain masing-masing mempropogandakan prinsip-prinsipnya yang mau di jadikan undang-undang dalam hokum”.

2. Abbas Mahmud al-`Aqad berkata[15]:”Maka Hak perbedaan dalam pendapat merupakan kebebasan. Setiap Umat boleh berselisih pendapat dengan yang lainya, engkau dapati padanya beberapai partai”.

3. Dr. Abdul Hamid Mutawalli berkata[16]:”Sesungguhnya partai-partai dimaksudkan untuk menciptakan opini public, maka keberadaanya menjadi senjata untuk melawan kesewenang-wenangan dan keotoriteran, karena  perencanan pada jamaah yang lemah merupakan senjata dari beberapa senjata perlawanan menentang orang-orang kuat. Dengan demikian partai yang menentang (oposisi) menjadi pengawas bagi partai yang sedang menjadi hakim, meluruskan kesalahan-kesalahanya, meneliti kekuranganya dan membatasi tanggung jawab politiknya.

4. Sesungguhnya Islam mengangakui (menetapkan) adanya syuro dan memberikan kebebasan pendapat. Bukanlah hal yang baik memaksa seseorang untuk percaya pada pemikiran tertentu sebagai mana firman Allah:  أفأنت تكره الناس حتى يكونو مؤمنين, dan sesungguhnya kebebasan ini yang di tetapkan oleh Islam tidak akan terjadi melainkan dengan jalan pembolehan partai-partai.

5. Sesungguhnya berbilangnya partai itu merupakan hal yang sangat penting untuk membebaskan negara-negara. Tanpanya, sangat sulit menghimpun kekuatan dan mengatur kerja keras dan memimpin umat sampai pembebasanya.

6.Ustad Sarwat Lc.berkata (jawaban atas pertanyaan hukum berpartai) :”Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik. Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam.
Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi MuhammadSallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat beliau yang mulia, bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian partai politik dalam sejarah Islam.
Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid'ah dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka.
Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu, partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir. Sehingga semakin haram saja hukumnya.
Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya pandangan berbeda.
Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang sharih ( kuat ) dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan hukumnya haram.
Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya. Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan langsung bisa dipahami.
Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan.

7. Dr.Yusuf al-Qardhawi Hafidlahullahu ketika di tanya hukum partai lebih dari satu dalam kitabnya yang berjudul  Min Fiqhi al-Daulah fi al-Islambeliau menjawab:[17]”Pendapat yang masih saya pegang semenjak bertahun-tahun lalu dari ceramah-ceramah saya, dan dari pertemuan-pertemuan spesial ialah sebagai berikut:”Bahwa dalam daulah Islam, tidak ada halangan secara syariat akan adanya parpol lebih dari satu, karena larangan membutuhkan (adanya) nash (teks) sedangkan (dalam masalah ini) tidak ada nash. Bahkan (parpol) lebih dari satu  terkadang sangat penting pada masa kita ini, karena itu diibaratkan (sebagai) kelep pengaman dari kediktatoran hukum individu atau kelompok tertentu, dan penguasaanya atas semua manusia, dan hukumnya pada pihak lain dan hilangnya kekuatan apapun, engkau bisa mengatakan padanya:”Tidak”. Atau: untuk apa? sebagaimana bacaan historis dan penelitian realita yang menunjukkan(kearah)itu.
  
Untuk menjadi parpol secara syari harus memenuhi dua syarat berikut:

1.Hendaknya mengakui Islam- baik akidah maupun syari`at- dan tidak memusuhi, mengingkarinya, meskipun dia mempunyai ijtihad khusus dalam pemahamanya, dalam perspektif dasar-dasar ilmiah yang ditetapkan.
2.Hendaknya tidak bekerja untuk pihak yang memusuhi Islam dan umatnya, apapun nama dan kedudukanya.

Yang saya tangkap dari penjelasan Dr. Qardhawi: kita sebagai muslim mempunyai kewajiban  menasehati dan meluruskan penguasa. Pada realitanya pekerjaan tersebut bukan perkara mudah dan bukan omongan gampang, ini bisa kita lihat secara historis dan esperimental.  Nah pada masa kita ini, kita bisa melakukan pekerjaan itu tanpa harus menumpahkan darah, caranya adalah harus mempunyai basis politik yang kuat, karena basis politik yang kuat tidak bisa di jatuhkan dengan mudah oleh penguasa, yang secara kongkrit dalam hal ini adalah parpol. Karena itulah parpol merupakan sarana yang efektif dan kondusif untuk menasehati dan meluruskan penguasa tanpa harus menumpahkan darah.)
          Sesungguhnya pembentukan parpol-parpol atau instansi-instansi politik menjadi sarana yang lazim untuk melawan kesewenangan penguasa-penguasa yang sedang memerintah dan mengintrospeksinya, dan mengembalikanya kejalan yang lurus, atau menjatuhkanya untuk diganti dengan yang lainya, hal inilah barang kali yang bisa diharapkan dalam pemerintahan, dan menegakkan kewajiban nasehat dan amar ma`ruf, sedangkan suatu hal yang tidak bisa sempurna melainkan dengannya maka sesuatu itu wajib hukumnya.
          Ketika kami membolehkan prinsip ta`addud parpol dalam daulah Islam, bukan berarti bermakna banyaknya parpol dan perkumpulan-perkumpulan dengan banyaknya  pribadi tertentu yang memiliki perbedaan kepentingan masing-masing, atau kepentingan pribadi, misalnya, ini partai si anu ini partai dia, mereka mengumpulkan manusia berdasarkan diri-dirinya(berdasarkan tendensi masing-masing). Akan tetapi ta`addud yang di syariatkan adalah:”variasi pemikiran, metodologi, dan politik yang di usulkan oleh masing-masing kelompok di perkuat dengan alasan-alasan dan sanad, lalu orang yang mempercayainya  membelanya dan tidak melihat perbaikan melainkan darinya. Dan orang yang tidak setuju menolaknya karena ia memiliki pemikiran yang lebih baik darinya.  Variasi partai dalam politik itu sangat mirip dengan variasinya madzhab-madzhab dalam fiqh.

Syubhat-syubhat beserta jawabanya:

a. Ada syubhat, bahwa prinsip ta`addud itu bertentangan dengan persatuan yang di diwajibkan Islam, dan menganggapnya sebagai penjaga iman sebagaimana dia mengangap bahwa perselisihan atau perpecahan teman dari kekafiran dan jahiliah.

Jawab: ta`addud tidak mesti berkonotasi perpecahan sebagaimana juga bahwa sebagian perpecahan tidak tercela, seperti perbedaan dalam pandangan merupakan hasil perbedaan dalam ijtihad, karena itulah sahabat berbeda dalam masalah furu` yang banyak, sedang hal itu tidak membahayakan mereka sama sekali, bahkan mereka pernah berbeda pada masa nabi yaitu peristiwa perintah shalat Ashar di Bani Quraidha, dan Rasul tidak mencela satupun dari sikap sahabatnya itu. Tidak semua perbedaan itu jelek, tapi perbedaan dikalangan manusia itu ada dua: perbedaan variatif dan perbedan pertentangan, yang pertama terpuji yang kedua tercela.

b. Partai merupakan barang impor. Ia secara orisinil bukan dari Islam kalau kita memakai barang impor berarti kita masuk dalam hadist nabi ”Man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum”

Jawab: sesungguhnya yang dilarang adalah taklid buta kepada selain kita dimana kita menjadi sekedar ekor yang ngikut dan tidak di ikuti. Yang dilarang ber-tasyabbuh dengan non muslim ialah dalam masalah identitas mereka dalam agama. Adapun selain dari pada itu kita boleh mengambil dari mereka dalam urusan kehidupan yang berkembang.

c. Adanya partai dalam daulah Islam akan menjadikan wala`(loyalitasnya) terbagi-bagi, pertama kepada partai dan kedua kepada daulah.

Jawab: Kebergabungan seorang Muslim pada kabilah, iklim, intansi, persatuan atau partai itu tidak menafikan afiliasi dan loyalitasnya kepada daulahnya. Afiliasi dan loyalitas itu di rajut oleh satu dasar yaitu loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang mukminin.  

8. Dr. Abdul Karim Zaidan berkata[18]:”Jika ada yang berpendapat bahwa pemilihan umum adalah bagian dari sistem demokrasi, dan sistem demokrasi tidak boleh kita ambil karena tidak Islami, maka kami katakan kepada mereka: Jika dipastikan bahwa sistem tersebut adalah sistem jahili (tidak Islami), tetapi apakah kita dilarang mengambil salah satu bagian dari sisitem jahili tersebut yang sekiranya tidak bertentangan dengan Islam?
Jawabanya adalah boleh -bahkan bisa jadi wajib- untuk mengambil bagian yang benar serta bermanfaat sesuai dengan syariat dari sekian banyak bagian yang telah menjadi undang-undang yang secara keseluruhanya disebut sistem jahili, berdasarkan dua alasan berikut:

Pertama: Cukup popular dikalangan para pakar dan ahli sejarah Islam bahwa dalam undang-undang bangsa Arab jahiliah ada salah satu undang-undang”al-Jiwaar”(pemberian suaka politik) yaitu: apabila seseorang mengumumkan secara terang-terangan bahwa dia memberikan jaminan perlindungan kepada individu tertentu, maka dengan cara seperti ini individu yang dilindungi telah berada dibawah perlindunganya, dan jika ada orang lain yang melakukan suatu tindakan permusuhan atau penganiayaan kepadanya berarti dia melakuakan permusuhan terhadap yang memberikan perlindungan tadi.

Undang-undang ini pernah diambil Rasulullah ­shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya, beliau (Rasulullah) tidak keberatan berada di bawah jaminan perlindungan Abu Thalib, begitupun ketika berangkat ke Tha`if dan pulang kembali memasuki kota Makkah dibawah jaminan perlindungan al-Muth`im bin `Ady. Demikian Abu Bakar ­Radhiallahu `anhu pernah meminta perlindungan kepada Ibnu Daghnah dan lain-lain.

Ketika kaum muslimin kembali ke Habasyah, para ahli sejarah mengatakan: Tidak ada seorangpun yang memasuki Makkah kecuali secara sembunyi-sembunyi atau meminta perlindungan. Dengan demikian, aturan “al-Jiwar” atau salah satu dari aturan tersebut termasuk bagian dari undang-undang bangsa Arab jahiliyah, dan tidak di larang bagi kaum muslimin untuk mengambil salah satu bagian dari system (undang-undang) ini.

Kedua: Nabi shallalhu `alaihi wassallam pernah bersabda: “Aku pernah menghadiri sebuah pertemuan untuk menghadiri perjanjian -sebelum diangkat menjadi nabi- di rumah Abdullah bin Jad`an. Pertemuan tersebut bagiku seakan-akan memiliki unta merah(sebagai ungkapan kebanggan beliau), para tokoh Quraisy berkumpul disana mereka saling berjanji untuk membela pihak-pihak yang didhalimi di kota Makkah, seandainya aku diundang kembali untuk menghadiri peremuan seperti itu(setelah menjadi nabi) akan aku penuhi (undangan tersebut).
Sisi argumentasi hadist tadi: Bahwa mereka yang berkumpul di rumahnya Abdullah bin Jad`an adalah penganut sistem jahili dan fanatisme Jahiliah. Mereka berkumpul untuk sesuatu kebaikan yaitu, kebersamaan dan kekompakan mereka dalam membela pihak yang di dhalimi, dan nabipun mendukungnya dalam ungkapan beliau: “seandainya aku diundang kembali untuk pertemuan seperti itu(setelah menjadi nabi)akan aku penuhi(undangan tersebut)”.
Dengan demikian, kita mengambil sebagian dari sistem Demokrasi adalah sebagai sebuah proses, karena kita bukan semata-mata mengambil sistem Demokrasinya, tetapi kita mengambil konsep syuronya salah satu konsekwensi konsep syuro adalah mengembalikan pemilihan kepala Negara kepada umat. Jika pemilihan kepala Negara saja di kembalikan ke umat, maka pemilihan wakil-wakil umat yang akan melakukan musyawarah dengan khalifah (pemimpin) harus dikembalikan kepada umat itu sendiri.
Berdasarkan hal ini, maka pemilihan yang dilakukan oleh umat untuk memilih wakil-wakil mereka adalah sebuah sistem yang berlandaskan syar`i.

D.Kesimpulan
      
       Disini saya akan mencoba menyimpulkan secara singkat apa alasan masing-masing pihak.

1. Pihak yang mengharamkan parpol beralasan demikian:
  a. Partai dapat memecah-belah umat.
  b. Partai bukanlah bagian dari Islam, bahkan ia termasuk perkara yang dilarang.
  c. Berpartai itu bid`ah.
  d. Berpartai dapat merusak Islam.
  e. Dengan berpartai itu bisa di sebut berhukum dengan selain Allah.
  f. Distibusi loyalitas antara ke partai dan Allah beserta Rasul-Nya.
  g. Partai merupakan barang impor.

2. Pihak yang membolehkan:
  a. Tidak ada nash secara tegas tentang pengharaman partai.
  b. Partai bukan perkara bid`ah karena ini dalam wilayah mu`amalah.
  c. Partai lebih dari satu tidak mengapa asal wala` dan bara`nya tetap untuk daulah Islam.
  d. Perbedaan dalam partai itu perbedaan tanawwu` bukan perbedaan ushul.
  e. Perlu di bedakan antara mengambil sebagian hukum yang tidak bertentangan dari demokrasi dengan mengambil system demokrasi secara mutlak. Nah, partai itu hanya bagian kecil dari Demokrasi.
  f.Berpartai itu salah usaha untuk menyelamatkan rakyat dari system kediktatoran.

Dari kesimpulan itu, saya melihat ada sudut pandang yang paradoks antara masing-masing pihak. Pihak pertama menjadikan partai itu perkara ushul, sedang yang kedua mengatakan furu’. Pihak pertama mengatakan bid`ah dhalalah sedang yang kedua bukan; karena partai masuk dalam koridor mu`amalah.
Pihak pertama menganggap partai itu merupakan ikhtilaf tadhad(bertentangan)sedang yang kedua menganggap tanawwu`.
Pihak pertama mengeneralisasi bahwa partai itu sama halnya dengan berhukum dengan selain Allah, sedang yang kedua, itu hanyalah memanfaatkan sebagian kecil sistem demokrasi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Sekarang masalahnya adalah bagaimana kita menentukan hukum partai, karena kita melihat ada sudut pandang yang berbeda antara keduanya yang implikasi konklusinya juga berbeda. Menurut hemat saya, tak jadi soal apa hukum partai, yang penting adalah sejauh mana kontribusi masing-masing untuk kepentingan Islam, nanti kita bisa melihat dalam realita siapa yang benar-benar membela Islam atau tidak.

Wallahu a`lam bisshawab.

والسلام على من اتبع الهدى

BAHAN PUSTAKA

1.Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahanya, Syamil Al-Quran, kiara Condong, Bandung, 2005.
2.Kantor Umum untuk Pengembangan kamus dan menghidupkan turos, al-Mu`jamu al-Wasith, Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, Kairo, Mesir, Cet.IV, 2005.
3.al-Hasan, Muhammad, al-Madzahib wal Afakar al-Mu`ashirah fi al-Tashawur al-Islami, Darul Basyir lil Tsaqafah wal ulum al-Islamiyah, Thantha, Mesir, Cet.IV, 1998.Pdf
4.Abu Zaid, Bakar bin Abdullah, Hukmu al-Intima` ila al-Firaq wa al-Ahzab wa al-Jama`at al-Islamiyat, Dar Ibnu hazm, Kairo, Mesir,Cet.I, 2006.
5.al-Qardhawi, Yusuf, min fiqhi al-Daulah fi al-Islam.., Dar as-Syuruq, Madinah Nashr, Kairo, Mesir, Cet.V, 2007.
6. web, Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 24 Th.V Dzulqo’dah 1427H, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya. Jl. Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]
7.Web, Http: www.Wikipedia.co.idPartaiPolitik
8.Yahya bin Ali alHajuri, Abu abdul Rahman, al-Ikhwanu al-muslimun wa al-Dimoqratia, Daru al-Kitab wa as-Sunnah, Ainun Syam Timur, Kairo, Mesir, Cet.I, 2007.
9.Ali, Atabik dan Zuhdi Muhdlor, Ahmad, Kamus Kotemmporer Arab Indonesia, Multi Karya Grafika, pondok pesantren Krapyak Jawa Tengah, Cet:VIII,  2003.
10.Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT(persero) Penerbitan dan Percetakan BALAI PUSTAKA, Jakarta, Indonesia, Cet.II, 2002.
11.Quthb, Muhammad, Madzahib Fikriyah Mu`ashirah, Daru al-Syuruq, Kairo, Mesir, Cet.I,1983.
12.Jarisyah, Ali, al-Ittijaahaat al-Fikriyah al-Mu`ashirah, Daru al-Wafa`, al-Manshurah, Mesir, Cet.IV, 2007.
13.Zaidan, Abdul Karim dan Az-Zindani, Abdul majid dan Yusuf Harbah, Muhammad, Pemilu dan Parpol dalam Perspektif Syariah, pen:Arif Ramdhani, Bandung, 2003.
14.Bowo, Partai politik dan Gerakan Sosial, Senin, 2 April 2oo9, Pdf.



[1] .Makalah ini di presentasikan pada kajian KIFAYAH, hari Jum`at 02 April 2010 di kediaman Sdr. Bruri Cs (H-6)

[2] .Pemakalah adalah mahasiswa Al-Azhar, fakultas Ushuluddin, jurusan Hadist Tk.IV

[3] .Muhammad Qutb, Madzahib Fikriyah Mu`ashirah, hal:193 bab:Hak Politik

[4] .Dr.Ali Jarisyah, al-ittijahat al-Fikriyah al-Mu`ashirah, hal: 122, bab: hukum perwakilan.

[5] .lihat hal; 831 bagiah huruf: P.

[6] .al-Mu`jamu al-Wasith, hal :170, Cet:IV, Penerbit:Maktabah as-Syuruq dauliyah, Mesir.

[7] . Bowo, Partai politik dan gerakan Sosial, hal:2

[8] . Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 24 Th.V Dzulqo’dah 1427H, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya. Jl. Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]


[9] .al-Madzahib wal-Afkar al-Mu`ashirah fi  at-Tashawwur al-Islami, karangan Muhammad al-Hasan, hal:9

[10] .Ibid.

[11] .al-Madzahib wal-Afkar al-Mu`ashirah fi  at-Tashawwur al-Islami, karangan Muhammad al-Hasan, hal:10

[12] .Lihat, Hal:117, Bab:Bahaya Partai Terhadap Jamaah Muslimin.

[13] .al-Ikhwanu al-Muslimun wa al-Demookratia, hal:142, bab:beberapa syubhat yang di jadikan aktifis parpol untuk  masuk pemilu dan demokrasi.

[14] . al-Madzahib wal-Afkar al-Mu`ashirah fi  at-Tashawwur al-Islami, karangan Muhammad al-Hasan, hal:10.

[15] .Ibid.

[16] .Ibid

[17] .Min fiqhi al-Daulah fil Islam hal:147 bab: berbilangnya partai dalam daulah Islam.

[18] .Pemilu dan Parpol dalam dalam perspektif Syariah,  hal:14, bab: Sikap kita terhadap system-sistem Lain.

No comments:

Post a Comment