Thursday, 28 July 2016

Makam Fiktif TPU Jakarta dan Kewajiban Seorang Muslim Terhadap Jenazah


© Ilustrasi : netralnews.com/

Belakangan ini kita di hebohkan dengan terbongkarnya kasus makam Fiktif alias ada makam tapi jasadnya tidak ada karena orangnya masih hidup. Ini terjadi di Ibu kota negara kita Jakarta. Penemuan ini sontak membuat geger masyarakat Indonesia bagaimana tidak ternyata kalau di jakarta tidak ada yang gratis semua harus bayar bahkan walau raga ini sudah tinggal jasad aja ternyata harus membayar sewa kontrak kamar yang 2.5 x 1.5 m itu dengan harga yang mencapai jutaan rupiah. (baca : makam-fiktif-dijual-rp8-juta-per-unit)

Kekurangan lahan pemakaman menjadi alasan kenapa kasus makam fiktif ini bisa terjadi, tahu sendirilah bagaimana lahan kosong di jakarta yang sudah mulai sempit dan tergantikan dengan gedung pencakar langit yang sangat banyak, sehingga di gunakan beberapa oknum untuk memperjual belikan tanah makam untuk di kafling dan di jual untuk rumah masa depan pengontaknya. Naudzubillahimindzalik....

Kita sebagai seorang muslim tentunya di buat miris dengan perilaku sebagian orang yang memperjual belikan TPU demi kepentingan pribadinya, padahal TPU ini merupakan bagian dari kemaslahatan ummat yang harus kita jaga dan pelihara. 

Kewajiban seorang muslim terhadap muslim lain yang meninggal adalah mengurus jasadnya hingga dikuburkan namun dengan perilaku seperti ini maka ada hak dari jenazah yang diselewengkan yaitu mendapat kesulitan ketika di kebumikan.

Berikut saya rinci kewajiban kita terhadap jenazah:

MEMANDIKAN JENAZAH

        Jenazah tersebut dimandikan dengan syarat sebagai berikut :
a)    Jenazah harus muslim atau muslimat.
b)    Tubuhnya ada walaupun sedikit.
c)    Jenazah bukan mati syahid (mati karena membela agama Allah)


Memandikan jenazah itu paling sedikit ialah harus menyiram badan jenazah sehingga air dapat merata kepada seluruh tubuhnya satu kali, setelah menghilangkan najis dari badannya. Orang yang mati tenggelam (di sungai misalnya), wajib dimandikan juga, karena ada perintah memandikan jenazah. Kecuali jenazah yang mati syahid.

Nabi Muhammad S.AW. bersabda :
Yang artinya : “Janganlah kamu memandikan mereka, karena tiap-tiap luka atau tiap-tiap darah yang mengalir menjadi misik wangi-wangian pada hari kiamat”. (H.R. Ahmad).
Sedangkan memandikan jenazah yang lebih sempurna ialah :

1)    Disunatkan diletakkan pada tempat yang tinggi, misalnya balai-balai atau dipan dan sebagainya. (Fiqhus Sunnah : 1-512)
2)    Memandikannya di tempat yang sunyi dari orang banyak, sehingga tidak ada orang yang melihat, kecuali yang memandikan dan yang membantu dalam urusan memandikan tersebut. Hendaklah memakai tabir agar tidak dilihat orang banyak.
3)    Pakaiannya diganti dengan pakaian mandi, supaya auratnya tidak mudah terbuka. Kemudian didudukkan atau disandarkan pada sesuatu. Orang yang memandikan hendaklah memakai sarung tangan.
4)    Setelah itu, perut jenazah disapu dengan tangan perlahan-lahan agar keluar kotorannya, terus disiram air dan wangi-wangian untuk menghilangkan bau kotoran tersebut. Mulut dibersihkan begitu juga kubul dan duburnya. Setelah hilang  najisnya, kemudian seluruh tubuhya disiram dengan air tiga kali siraman. Dan diwudlukan. Rambut disisir. Dalam membersihkan kotoran tersebut hendaklah menggunakan sabun. Dan basuhan yang terakhir hendaknya disertai kapur barus.

Nabi Muhammad S.A.W. bersabda orang yang mati karena terjatuh dari kendaraannya :

Yang artinya : “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah S.A.W. bersabda kepada Ummu Athiyyah yang sedang memandikan Zainab :

Yang artinya : “Mandikanlah dia tiga kali, atau lima kali atau lebih jika engkau pandang lebih baik, dengan air dan daun bidara, dan jadikanlah yang akhir dengan kapur barus” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Jenazah hendaklah dimandikan oleh muhrimnya. Tetapi yang lebih berhak adalah suami atau istrinya. Apabila suami atau istrinya tidak mengerti cara memandikan jenazah, maka yang memandikannya kerabat dekat yang mengerti cara memandikan jenazah. Kecuali bila jenazah tersebut adalah anak-anak, boleh dimandikan oleh siapapun, tetapi yang lebih berhak adalah kerabat dekatnya.


MENGKAFANI JENAZAH

Setelah selesai dimandikan kemudian, jenazah dipakaikan kain kafan. Kain kafan ini diambilkan dari harta jenazah tersebut, kalau jenazah tersebut meninggalkan harta. Apabila tidak, maka wajib bagi orang yang memberi nafkah ketika jenazah tersebut ketika masih hidup. Kalau ada suaminya, tentu suaminya yang berkewajiban mengkafani. Kalau tidak ada maka wajib bagi muslim yang mampu mengkafaninya. Dan tentunya menjadi kewajiban umat Islam pula.  Paling sedikit kain kafan itu harus dapat menutupi seluruh tubuh jenazah tersebut, baik jenazah laki-laki maupun peremptan. Yang lebih utama kain kafan bagi laki-laki itu tiga helai.

Disebutkan dalam Hadits dari Aisyah :
-
Yang artinya : “Rasulullah S.A.W. dipakaikan kain kafan dengan tiga lapis kain putih buatan Suhul (suatu kota di Yaman ), terbuat dari kapas tidak ada di dalamnya baju, dan tidak pula serban”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan bagi jenazah perempuan yang lebih utama kain kafan itu lila helai. Lima helai itu, terdiri dari kain panjang, baju, tutup kepala, kerudung dan kain yang menutupi tubuhnya. (Lihat Hadits riwayat Ahmad)

Disunnatkan kain kafan itu putih, sebab Rasulullah S.A.W. bersabda :
-
Yang artinya : “Pakailah pakaianmu serba putih, karena yang putih itu sebaik-baiknya pakaianmu, dan kafanilah jenazah-jenazah dari kamu dengan kain putih itu “.
(H.R. At Turmudzi dan lainnya).


MENSHALATKAN JENAZAH

Setelah dikafani kemudian dishalatkan. Menshalatkan jenazah itu diwajibkan dalam agama Islam (fardlu kifayah).

Rasulullah S.A.W. bersabda :
-
Yang artinya : “Shalatkanlah olehmu orang-orang yang mati dari kamu”.
(H.R. Ibnu Maajah).

3.1 Shalat Ghaib

Shalat atas mayat yang ghaib (tidak ada dihadapannya) itu sah, walaupun sesudah dikuburkan.
Disebutkan dalam Hadits dari Jabir bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda :
-
Yang artinya :  “Pada hari ini meninggal seorang yang saleh di negeri Habsyi, maka berkumpulah kamu dan shalatlah kamu untuk dia. Maka kami membuat saf dibelakangnya, maka beliau menshalatkan jenazah dan kami bersaf-saf”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

3.2 Orang yang Mati Syahid

Orang yang mati syahid tidak perlu dishalatkan.

Disebutkan dalam Hadits dari Jabir :
-
Yang artinya : “Sesungguhnya Nabi S.A.W. memerintahkan kepadaku terhadap orang-orang yang mati dalam perang Uhud agar mengubur mereka dengan darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan atas mereka itu”. (H.R. Bukhari).


MEMAKAMKAN JENAZAH

Setelah selesai dishalatkan kemudian dimakamkan. Memakamkan jenazah hukumnya fardlu kifayah.

Liang kubur itu yang dalam sehingga tidak mudah dibongkar oleh binatang buas.
Liang kubur itu di tempat yang tanahnya keras hendaklah dibuat di sebelah bawah arah kiblat, liang yang kira-kira termuat oleh jenazah.  Kemudian setelah mayat dimasukkan ditutup dengan papan dan sebagainya. Kalau tanahnya tidak keras, maka lebih baik dibuatkan liang di tengah yang kira-kira termuat jenazah, kemudian setelah mayat dimasukkan, lalu di tutup dengan papan dan sebagainya.
Setelah sampai dikubur, mayat diturunkan untuk dimasukkan dari arah kaki kubur, kepala dimasukkan ditarik perlahan-lahan , kemudian dimasukkan kedalam liang tengah.

Disaat meletakkan mayat ke dalam kubur, disunnatkan membaca :

Yang artinya : “Dengan nama Allah dan atas nama agama Rasulullah”.
(H.R. At Turmudzi dan Abu Dawud).


Kemudian liang lahad itu ditutup dengan papan. Setelah itu liang kubur ditimbun dengan tanah.

Setelah selesai memakamkannya, kemudian para hadirin diseyogyakan berhenti sebentar untuk mendo’akan kepada jenazah tersebut agar diberi ampun oleh Allah, dan tetap mempunyai iman yang teguh.

Disebutkan dalam Hadits dari Utsman :
-
Yang artinya : “Nabi S.A.W. apabila telah selesai mengubur jenazah, beliau berhenti kemudian bersada : mohonkanlah ampun untuk saudaramu, dan mintakanlah baginya ketetapan hati, karena sesungguhnya ia sekarang ditanya”.


Semoga kejadian ini tidak terjadi di daerah lain.

No comments:

Post a Comment