© Ilustrasi : netralnews.com/
Belakangan ini kita di hebohkan dengan terbongkarnya kasus makam Fiktif alias ada makam tapi jasadnya tidak ada karena orangnya masih hidup. Ini terjadi di Ibu kota negara kita Jakarta. Penemuan ini sontak membuat geger masyarakat Indonesia bagaimana tidak ternyata kalau di jakarta tidak ada yang gratis semua harus bayar bahkan walau raga ini sudah tinggal jasad aja ternyata harus membayar sewa kontrak kamar yang 2.5 x 1.5 m itu dengan harga yang mencapai jutaan rupiah. (baca : makam-fiktif-dijual-rp8-juta-per-unit)
Kekurangan
lahan pemakaman menjadi alasan kenapa kasus makam fiktif ini bisa terjadi, tahu
sendirilah bagaimana lahan kosong di jakarta yang sudah mulai sempit dan
tergantikan dengan gedung pencakar langit yang sangat banyak, sehingga di
gunakan beberapa oknum untuk memperjual belikan tanah makam untuk di kafling
dan di jual untuk rumah masa depan pengontaknya. Naudzubillahimindzalik....
Kita
sebagai seorang muslim tentunya di buat miris dengan perilaku sebagian orang
yang memperjual belikan TPU demi kepentingan pribadinya, padahal TPU ini
merupakan bagian dari kemaslahatan ummat yang harus kita jaga dan
pelihara.
Kewajiban
seorang muslim terhadap muslim lain yang meninggal adalah mengurus jasadnya
hingga dikuburkan namun dengan perilaku seperti ini maka ada hak dari jenazah
yang diselewengkan yaitu mendapat kesulitan ketika di kebumikan.
Berikut
saya rinci kewajiban kita terhadap jenazah:
MEMANDIKAN JENAZAH
Jenazah
tersebut dimandikan dengan syarat sebagai berikut :
a)
Jenazah
harus muslim atau muslimat.
b) Tubuhnya ada walaupun
sedikit.
c)
Jenazah
bukan mati syahid (mati karena membela agama Allah)
Memandikan
jenazah itu paling sedikit ialah harus menyiram badan jenazah sehingga air
dapat merata kepada seluruh tubuhnya satu kali, setelah menghilangkan najis
dari badannya. Orang yang mati tenggelam (di sungai misalnya), wajib dimandikan
juga, karena ada perintah memandikan jenazah. Kecuali jenazah yang mati syahid.
Nabi
Muhammad S.AW. bersabda :
Yang artinya
: “Janganlah kamu memandikan mereka, karena tiap-tiap luka atau tiap-tiap darah
yang mengalir menjadi misik wangi-wangian pada hari kiamat”. (H.R. Ahmad).
Sedangkan
memandikan jenazah yang lebih sempurna ialah :
1)
Disunatkan
diletakkan pada tempat yang tinggi, misalnya balai-balai atau dipan dan
sebagainya. (Fiqhus Sunnah : 1-512)
2) Memandikannya di
tempat yang sunyi dari orang banyak, sehingga tidak ada orang yang melihat,
kecuali yang memandikan dan yang membantu dalam urusan memandikan tersebut.
Hendaklah memakai tabir agar tidak dilihat orang banyak.
3) Pakaiannya diganti
dengan pakaian mandi, supaya auratnya tidak mudah terbuka. Kemudian didudukkan
atau disandarkan pada sesuatu. Orang yang memandikan hendaklah memakai sarung
tangan.
4)
Setelah
itu, perut jenazah disapu dengan tangan perlahan-lahan agar keluar kotorannya,
terus disiram air dan wangi-wangian untuk menghilangkan bau kotoran tersebut.
Mulut dibersihkan begitu juga kubul dan duburnya. Setelah hilang
najisnya, kemudian seluruh tubuhya disiram dengan air tiga kali siraman. Dan
diwudlukan. Rambut disisir. Dalam membersihkan kotoran tersebut hendaklah
menggunakan sabun. Dan basuhan yang terakhir hendaknya disertai kapur barus.
Nabi
Muhammad S.A.W. bersabda orang yang mati karena terjatuh dari kendaraannya :
Yang
artinya : “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara”. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Rasulullah
S.A.W. bersabda kepada Ummu Athiyyah yang sedang memandikan Zainab :
Yang
artinya : “Mandikanlah dia tiga kali, atau lima kali atau lebih jika engkau
pandang lebih baik, dengan air dan daun bidara, dan jadikanlah yang akhir
dengan kapur barus” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Jenazah
hendaklah dimandikan oleh muhrimnya. Tetapi yang lebih berhak adalah suami atau
istrinya. Apabila suami atau istrinya tidak mengerti cara memandikan jenazah,
maka yang memandikannya kerabat dekat yang mengerti cara memandikan jenazah.
Kecuali bila jenazah tersebut adalah anak-anak, boleh dimandikan oleh siapapun,
tetapi yang lebih berhak adalah kerabat dekatnya.
MENGKAFANI JENAZAH
Setelah
selesai dimandikan kemudian, jenazah dipakaikan kain kafan. Kain kafan ini
diambilkan dari harta jenazah tersebut, kalau jenazah tersebut meninggalkan
harta. Apabila tidak, maka wajib bagi orang yang memberi nafkah ketika jenazah
tersebut ketika masih hidup. Kalau ada suaminya, tentu suaminya yang
berkewajiban mengkafani. Kalau tidak ada maka wajib bagi muslim yang mampu
mengkafaninya. Dan tentunya menjadi kewajiban umat Islam pula. Paling
sedikit kain kafan itu harus dapat menutupi seluruh tubuh jenazah tersebut,
baik jenazah laki-laki maupun peremptan. Yang lebih utama kain kafan bagi
laki-laki itu tiga helai.
Disebutkan
dalam Hadits dari Aisyah :
-
Yang
artinya : “Rasulullah S.A.W. dipakaikan kain kafan dengan tiga lapis kain putih
buatan Suhul (suatu kota di Yaman ), terbuat dari kapas tidak ada di dalamnya
baju, dan tidak pula serban”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan
bagi jenazah perempuan yang lebih utama kain kafan itu lila helai. Lima helai
itu, terdiri dari kain panjang, baju, tutup kepala, kerudung dan kain yang
menutupi tubuhnya. (Lihat Hadits riwayat Ahmad)
Disunnatkan
kain kafan itu putih, sebab Rasulullah S.A.W. bersabda :
-
Yang
artinya : “Pakailah pakaianmu serba putih, karena yang putih itu sebaik-baiknya
pakaianmu, dan kafanilah jenazah-jenazah dari kamu dengan kain putih itu “.
(H.R.
At Turmudzi dan lainnya).
MENSHALATKAN JENAZAH
Setelah
dikafani kemudian dishalatkan. Menshalatkan jenazah itu diwajibkan dalam agama
Islam (fardlu kifayah).
Rasulullah
S.A.W. bersabda :
-
Yang
artinya : “Shalatkanlah olehmu orang-orang yang mati dari kamu”.
(H.R.
Ibnu Maajah).
3.1
Shalat Ghaib
Shalat
atas mayat yang ghaib (tidak ada dihadapannya) itu sah, walaupun sesudah
dikuburkan.
Disebutkan
dalam Hadits dari Jabir bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda :
-
Yang
artinya : “Pada hari ini meninggal seorang yang saleh di negeri Habsyi,
maka berkumpulah kamu dan shalatlah kamu untuk dia. Maka kami membuat saf
dibelakangnya, maka beliau menshalatkan jenazah dan kami bersaf-saf”. (H.R.
Bukhari dan Muslim).
3.2 Orang
yang Mati Syahid
Orang
yang mati syahid tidak perlu dishalatkan.
Disebutkan
dalam Hadits dari Jabir :
-
Yang
artinya : “Sesungguhnya Nabi S.A.W. memerintahkan kepadaku terhadap orang-orang
yang mati dalam perang Uhud agar mengubur mereka dengan darah mereka, tidak
dimandikan dan tidak dishalatkan atas mereka itu”. (H.R. Bukhari).
MEMAKAMKAN JENAZAH
Setelah
selesai dishalatkan kemudian dimakamkan. Memakamkan jenazah hukumnya fardlu
kifayah.
Liang
kubur itu yang dalam sehingga tidak mudah dibongkar oleh binatang buas.
Liang
kubur itu di tempat yang tanahnya keras hendaklah dibuat di sebelah bawah arah
kiblat, liang yang kira-kira termuat oleh jenazah. Kemudian setelah mayat
dimasukkan ditutup dengan papan dan sebagainya. Kalau tanahnya tidak keras,
maka lebih baik dibuatkan liang di tengah yang kira-kira termuat jenazah,
kemudian setelah mayat dimasukkan, lalu di tutup dengan papan dan sebagainya.
Setelah
sampai dikubur, mayat diturunkan untuk dimasukkan dari arah kaki kubur, kepala
dimasukkan ditarik perlahan-lahan , kemudian dimasukkan kedalam liang tengah.
Disaat
meletakkan mayat ke dalam kubur, disunnatkan membaca :
Yang
artinya : “Dengan nama Allah dan atas nama agama Rasulullah”.
(H.R.
At Turmudzi dan Abu Dawud).
Kemudian
liang lahad itu ditutup dengan papan. Setelah itu liang kubur ditimbun dengan
tanah.
Setelah
selesai memakamkannya, kemudian para hadirin diseyogyakan berhenti sebentar
untuk mendo’akan kepada jenazah tersebut agar diberi ampun oleh Allah, dan tetap
mempunyai iman yang teguh.
Disebutkan
dalam Hadits dari Utsman :
-
Yang
artinya : “Nabi S.A.W. apabila telah selesai mengubur jenazah, beliau berhenti
kemudian bersada : mohonkanlah ampun untuk saudaramu, dan mintakanlah baginya
ketetapan hati, karena sesungguhnya ia sekarang ditanya”.
Semoga kejadian ini tidak terjadi di daerah lain.
No comments:
Post a Comment