© Ilustrasi : greenhassonjanks.com
Baru-baru ini
pemerintah Indonesia telah memberlakukan Tax Amnesty/Pengampunan pajak yang
dimulai sejak tanggal 18 Juli 2016 yang lalu. Pemberlakuan Tax Amnesty ini di
harapkan bisa mengembalikan dana masyarakat Indonesia yang ngendon disimpan di
bank-bank yang berada di luar negeri, jumlah uang tersebut menurut catatan Bank
Indonesia berjumlah lebih dari Rp. 11.400 Trilliun.., wow angka yang sangat
fantastis hingga pencapaian angkanya bisa mengalahkan GDP kita... ko bisa ya...
(baca : m.tempo.co)
Silahka baca
terlebih dahulu undang-undang Tax Amnesty/Pengampunan Pajak ini biar lebih
faham ( baca : ( Undang
Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2016 )
Pengertian
Singkat Tax Amnesty
Secara
sederhana Tax Amnesty diartikan sebagai pengampunan pajak, hal ini dilakukan
agar mereka yang menyimpan hartanya di luar negeri mau menarik dan
menyimpan harta mereka di Indonesia.
Orang
Indonesia yang menyimpan hartanya di luar negeri tentu memiliki berbagai
alasan dan keuntungan kenapa mereka menyimpan hartanya di luar
negeri. Sepeti di Singapura, negara tersebut memberlakukan Free Tax (Bebas
Pajak).
Tentu itu
menjadi salah satu keuntungan bagi mereka yang menyimpan hartanya disana,
selain lolos dari pajak di Indonesia.
Berapa lama
dan jumlah harta orang kaya Indonesia yang disembunyikannya di luar
negeri, tentunya itu adalah tanggungan pajak yang harus mereka bayar.
Untuk itu
pemerintah merayu mereka agar melaporkan hartanya yang diluar negeri dan
kembali membawanya ke Indonesia dengan memberlakukan Tax Amnesty (Pengampunan
Pajak).
Dengan kata
lain, Pajak terutang atas harta mereka diluar negeri yang harus mereka bayar
sebelumnya diampuni oleh pemerintah Indonesia, Wajib pajak akan memulai dari
awal, seperti itulah pengertian singkat Tax Amnesty (Pengampunan pajak).
Hukum
Tax Amnesty dalam Islam
Dalam Islam
telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara
umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun dalil
secara umum, semisal firman Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
cara yang batil….”[An-Nisa : 29]
Dalam ayat
diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan
yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk
memakan harta sesamanya
Dalam sebuah
hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يَحِلُّ مَالُ
امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal
harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]
Adapun dalil
secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman
bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
إِنَّ صَاحِبَ
الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya
pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab
Al-Imarah : 7]
Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya
bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali
Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan
dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.
Dan hadits
tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.
عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى
مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ
إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ
صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ
“Dari Abu
Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di
negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin
Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para
penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]
Berkata
Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk
memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab
Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih
At-Targhib” [7]
Hadits-hadits
yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam
kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45
Imam Muslim
meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam
terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut
diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu
menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita
itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَهْلاً يَا خَالِدُ
فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ
لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“Pelan-pelan,
wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah
bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat
(sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348
no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah
Ash-Shahihah hal. 715-716]
Imam Nawawi
rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah
yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat
kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran
dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat
nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi] (Sumber)
Namun
sebagian ulama berfatwa bahwasannhya pajak
yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya adalah di
perbolehkan, Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat
untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa,
sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya
kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan
bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan
mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain
tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam
rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar
al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam
rangka menolak kerugian yang lebih besar).
Pendapat ini
juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi
dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong
sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi
yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta
diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping
kewajiban zakat. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥)
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah
orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]
dan
firman-Nya,
انْفِرُوا خِفَافًا
وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (٤١)
Berangkatlah
kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].
وَأَنْفِقُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (١٩٥)
Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [Al Baqarah: 195].
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١١)
(yaitu) kamu
beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff:
11].
Dengan
demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran
beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An
Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa
kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan
harta selain zakat.
Termasuk dari
apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat
bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada
seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan
ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya
sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah
dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat
diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut
merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak
dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa
terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu,
kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“,
sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu
itu bersifat wajib.
Kemudian,
setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh
pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka
sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi
dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan
kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat
dengan sejumlah syarat, yaitu :
Bait al-maal
mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat
dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan
tersebut tidak ada.
Pajak yang
ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang
adil.
Bermusyawarah
dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan
negara yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan
negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap
pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan
syari’at.
Pajak jenis
ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan
oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda
sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar in al-Khathab radliallahu
‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10%
kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah
sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin. (Sumber)
Terus
bagaiaman dengan Tax Amnesty versi Indonesia ketentuannya apakah sudah islami atau
belum...???
jadi menurut mas nya tax amnesty dalam pandangan islam bagaimana ya ?? saya belum mendapatkan poinnya di artikel ini.
ReplyDeletejelas jelas haram sob,
Delete