Monday 21 September 2015

Dianatara 2 Hari Raya Idul Qurban....??? Versi Pemerintah dan Muhammadiyah


© Ilustrasi : sumber

Fenomina perbedaan hari raya Iedul Fitri di Indonesia adalah hal yang biasa terjadi. Tidak halnya dengan perayaan Idul Qurban yang selalu berbarengan antara pemerintah dengan Organisasi kemasyarakatan baik Nahdatul Ulama (NU) Maupun Muhammadiyah. Namun tidak untuk tahun ini perayaan Iedul Qurban pelaksanaannya berbeda dimana Muhammadiyah akan melaksanakan perayaannya tanggal 23 September 2015 (Baca : beda-dengan-pemerintah-muhammadiyah-idul-adha-23-september) sedangkan versi pemerintah dilaksakana besoknya tanggal 24 September.

Apa yang menyebabkan jatuhnya perayaan Idul Qurban kali ini berbeda? Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah seperti dilansir Sindonews "Perbedaan sudah sering terjadi, ini karena perbedaan perhitungannya. Bagi warga Muhammadiyah, melakukan penghitungan dengan cara hisab, sementara pemerintah menggunakan metode rukyat".

Nah sekarang bagaimana nasib kita sebagai Ummat....?Mau ngikutin mana.....? Ikut hari raya versi Muhammadiyah atau Pemerintah....?

Bagi seorang Jamaah Muhammadiyah tulen, ya so pasti akan ikut Hari Raya yang ditetapkan oleh PP Muhammadiyah, begitupun dengan Jamaah Nahdatul Ulama pastinya ikut sesuai perhitungan NU. Nah sekarang bagaimana dengan saya?Atau orang-orang yang senasib dengan saya? Mana yang harus kami ikutin? secara kami bukanlah pengikuti salah satu Organisasi Islam manapun... Apakah ini juga harus membuat kami pusing...!!! 

Ah...  tentu tidak mengapa hal yang semacam ini di bikin pusing, toh dalam ajaran Isalam perbedaan itu adalah hal yang wajar karena dalam dunia Islam mengenal Ilmu yang namanya Ushul Fiqih.

Nah pada kesempatan kali ini, Mari kita bahas mengenai Ilmu Ushul Fiqih ini......


Mengenal Ilmu Usul Fikih
Sejak lama, untuk mempermudah para penuntut ilmu memperdalam ilmu agama yang mulia ini, para ulama salaf telah menggariskan usul atau dasar di setiap disiplin ilmu. Di dalam ilmu tafsir, ada usul tafsir. Di dalam ilmu hadis, ada pula usul hadis. Begitu pula di dalam disiplin ilmu fikih, kita mengenal usul fikih.
Usul fikih, perpaduan dua kata yang akrab bagi para penuntut ilmu. Banyak di antara kita yang mungkin mengetahui eksistensi usul fikih sebagai salah satu disiplin ilmu agama. Akan tetapi, sedikit dari kita yang mendalami ilmu yang satu ini. Salah satu faktornya adalah minimnya pengetahuan kita terhadap urgensi disiplin ilmu yang lahir 12 abad silam ini. Padahal, jika kita menyelam lebih dalam, kita akan menyadari bahwa ilmu usul fikih sangatlah penting, terutama untuk mengkaji dan mendalami fikih yang notabene selalu bersinggungan dengan praktik sehari-hari lebih jauh lagi.
Oleh sebab itu, tak ada salahnya dalam kesempatan kali ini, kita akan mencoba mengenal ilmu usul fikih, baik makna, cakupan, urgensi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Diharapkan setelah mengenalnya, kita tergerak untuk lebih bersemangat mempelajarinya, mendalaminya sedemikian rupa, atau bahkan menjadi ahli di bidangnya.
Makna Usul Fikih
Untuk mengetahui makna usul fikih, ada baiknya kita terlebih dahulu mengurainya menjadi dua kata: usul dan fikih.
Usul adalah kata serapan dari bahasa Arab yaitu ushul, bentuk plural dari ashl, yang berarti dasar, asas, pokok, atau fondasi. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah mengumpamakan kalimat yang baik seperti pohon yang baik: ‘akarnya’ kuat dan cabangnya menjulang tinggi ke langit.” (QS. Ibrahim 24).
Di dalam ayat ini, kata ashl, yang merupakan bentuk tunggal dari ushul dipakai untuk menjelaskan makna fondasi pohon, yaitu akarnya.
Di dalam istilah, usul memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah dalil, pendapat yang paling kuat, kaidah, dan hukum asal.[1] Makna ini tergantung konteks kalimat di mana kata usul tersebut ditempatkan.
Sedangkan fikih atau fiqh dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (kata benda yang bermakna kata kerja) dari faqiha-yafqahu yang berarti memahami, mengerti, mengetahui, atau yang semakna dengan itu. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang memanjatkan doa,
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي (*) يَفْقَهُوا قَوْلِي
Dan lepaskan kekakuan dari lisanku, agar mereka ‘memahami’ perkataanku.” (QS. Thaha: 27-28)
Akan tetapi sebagian ulama mengkritisi makna ini. Mereka berpendapat fikih tak sekadar memahami atau mengetahui saja, akan tetapi memahami dengan pemahaman yang dalam, bukan memahami secara global. Jadi, seorang yang hanya memahami saja tidak dikatakan seorang yang fakih.
Dalam istilah, fikih berarti suatu disiplin ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang berupa amal perbuatan disertai dengan dalil-dalil yang terperinci.[2] Oleh sebab itu, fikih tidak membahas hukum akli dan adat. Fikih tidak pula bicara permasalahan akidah semisal tauhid, dalam konteks pengertian fikih menurut istilah ini.
Setelah mengetahui makna dua kata di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa usul fikih adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fikih secara global dan mengupas metode dalam menarik hukum dari dalil-dalil tersebut, serta kondisi orang yang menarik hukum tersebut.[3]
Sehingga dapat kita uraikan secara garis besar usul fikih mencakup tiga pembahasan:
1.   Dalil-dalil syar’i, baik yang disepakati eksistensinya, seperti Alquran, sunah, ijmak, dan kias, maupun diperselisihkan eksistensinya oleh para ulama, semisal istish-hab, perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan, dan mashalih mursalah.
2.   Metode dalam ber-istinbath atau ber-istidlal, yaitu menarik hukum syar’i dari dalil tersebut. Semisal mengetahui lafal amr-nahy (perintah-larangan), nasih-mansukh(penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-khusus), muthlaq-muqayyad (mutlak-terikat),mujmal-mubayyan (global-dirinci), manthuq-mafhum (tekstual-implisit), dan lafal lain yang berguna dalam ber-istidlal.
3.   Kondisi seorang mujtahid yang beristidlal, termasuk membahas pertentangan dalil, bagaimana menguatkan pendapat, seputar fatwa, juga bicara mengenai taklid, dan lain sebagainya.

Untuk memudahkan kita memahami usul fikih, ada baiknya kita menggunakan metode mind map atau peta pikiran, serta analogi, yang acap kali dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan suatu hal kepada para sahabatnya.
Kita gambarkan usul fikih sebagai sebuah pohon yang besar dan berbuah. Buahnya matang dan siap dipetik. Lalu datang seseorang yang mencoba untuk memetik buah tersebut. Inilah gambaran usul fikih secara sederhana.
Pohon tersebut ibarat sumber hukum di dalam Islam, yaitu Alquran, sunah, ijmak, dan qiyas. Sedangkan buah pohon itu adalah hukum itu sendiri, yakni wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Orang yang datang untuk memetik buah itu adalah seorang mujtahid. Ia ingin memetik buah berupa hukum dari pohon yang merupakan sumber hukum. Terakhir, cara orang tersebut memetik buah adalah metode dalam mengeluarkan hukum suatu permasalahan dari sumber hukum itu sendiri, yang sudah kita singgung sebelumnya sebagai istidlal atau istinbath. Nah, usul fikih adalah disiplin ilmu yang membahas itu semua: pohon, buah, orang yang memetik buah, serta cara orang tersebut memetik buah.[4]
Sejarah Ilmu Usul Fikih

Sebagaimana disiplin ilmu lainnya, usul fikih pun mengalami proses sejarah yang cukup panjang, sejak muncul berupa pengetahuan, kemudian dibukukan dan menjadi disiplin ilmu yang mandiri, hingga saat ini.
Sejatinya, usul fikih sudah ada di zaman Nabi. Para sahabat sudah mengenal bagaimana langkah yang digunakan dalam mengeluarkan hukum dari suatu dalil. Para sahabat sudah mengetahui adanya kias, bisa membedakan lafal yang umum dan yang khusus, serta cabang-cabang disiplin ilmu usul fikih lainnya. Semua itu mereka pelajari langsung dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam, dari sabda-sabda beliau, dari praktik beliau, penjelasan beliau terhadap ayat-ayat Alquran, dari tanya jawab bersama beliau, dan lain sebagainya. Hanya saja, pada masa tersebut, usul fikih sebagaimana disiplin ilmu lainnya belumlah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri karena tidak ada keperluan untuk hal itu, mengingat sahabat adalah orang yang berilmu dalam hal tersebut.
Sampai berlalu puluhan tahun, atas kehendak Allah, Imam Syafi’i berhasil melahirkan disiplin ilmu usul fikih. Adalah Ar-Risalah, megakarya Imam Syafi’i yang memelopori lahirnya usul fikih. Kitab yang awalnya ditujukan kepada Abdurrahman bin Mahdi itu disebut-sebut sebagai kitab induk di dalam disiplin ilmu usul fikih.
Ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun poin-poin ilmu usul fikih ke dalam satu pembahasan adalah Abu Yusuf, sahabat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, karya beliau tersebut tidak sampai ke tangan kita, berbeda dengan karya Imam Syafi’i yang disebarkan oleh murid sekaligus sahabat beliau, Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady hingga masih terjaga hingga saat ini.[5]
Di masa ini, mayoritas fukaha, ulama di dalam ilmu fikih, memiliki dua metode yang berbeda di dalam proses belajar-mengajar. Satunya di kenal sebagai madrasah al-hadits, yang berpusat di Madinah, bersama Imam Malik, pengarang Al-Muwaththa’. Satunya disebutmadrasah ar-ra’yi, yang berada di Irak, bersama murid-muridnya Imam Abu Hanifah. Madrasah al-hadits unggul dalam hal periwayatan hadis karena Madinah merupakan ranah turunnya wahyu dan tempat tinggalnya sahabat. Sedangkan madrasah ar-ra’yi unggul dalam hal berpendapat, beranalisis, dan berlogika karena hadis-hadis yang sampai kepada mereka banyak yang palsu dan tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis menurut mereka. Meskipun begitu, keduanya sepakat akan wajibnya berpegang terhadap Alquran dan sunah dan tidak boleh mendahulukan akal maupun logika di atas keduanya.
Lalu muncullah Imam Syafi’i, murid dari Imam Malik dan Muhammad bin al-Hasan, sahabat Imam Abu Hanifah, yang mencoba menggabungkan kedua metode ini. Ia menggabungkan fikih Imam Malik di Madinah, fikih Imam Abu Hanifah dari sahabatnya, Muhammad bin al-Hasan, serta fikih ulama-ulama Syam dan Mesir. Ia juga menambahkan metode penduduk Mekah yang unggul dalam tafsir Alquran, sebab turunnya ayat, bahasa Arab, serta adat mereka.
Akhirnya, Imam Syafi’i merumuskan usul dalam ber-istinbath, kaidah dalam beristidlal, dan patokan dalam berijtihad. Imam Syafi’i menjadikan ilmu fikih dibangun di atas usul yang tetap, bukan dari fatwa tertentu. Dengan usul fikih, beliau telah menampakkan substansi dan hakikat dari fikih itu sendiri. Beliau menjadi perintis ilmu usul fikih, yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh ulama setelahnya.
Imam Ahmad, murid dari Imam Syafi’i berkata, “Dahulu, fikih itu terkunci, sampai Allah membukanya melalui Syafi’i.”[6]
Di lain kesempatan, beliau juga mengatakan, “Jika bukan karena Syafi’i, niscaya kami tidak mengenal fikih hadis.”[7]
Setelah berlalu masa-masa tersebut, banyak ulama yang mengarang kitab tentang usul fikih. Sebut saja Al-Khatib al-Baghdadi dengan Al-Faqih wa al-Mutafaqqih, Imam Ghazali dengan Al-Mustashfa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan karya-karyanya, Ibnul Qayyim dengan I’lam al-Muwaqqi’in, hingga Ibnu Qudamah dengan Raudhah an-Nazhir yang diadopsi dari karya Imam Ghazali, dan masih banyak lagi kitab usul fikih lainnya.
Cakupan Ilmu Usul Fikih

Telah dibahas sebelumnya, bahwa ilmu usul fikih itu secara garis besar mencakup hukum syar’i beserta dalil sumber hukum itu sendiri, cara mengeluarkan hukum dari dalil yang ada, serta penjelasan seputar mujtahid dan yang berkaitan dengannya.
Adapun jika dirinci, maka kita dapat uraikan sebagai berikut:
  • Hakikat ilmu usul fikih, seperti tulisan ini, membahas pengertian usul fikih, sejarahnya, cakupannya, urgensinya, dan hal-hal lain mengenai usul fikih itu sendiri.
  • Hukum syar’i, melingkupi hukum taklifi semisal wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Bukan hukum akli dan bukan pula hukum adat.
  • Seputar mujtahid atau dalam hal ini disebut pula mustadlil atau mustanbith, yang menarik suatu hukum dari suatu dalil.
  • Taklif dan mukalaf, mencakup apa saja syarat seseorang manusia dibebani syariat, dan hal-hal lainnya.
  • Illah (sebab) adanya suatu hukum.
  • Sumber hukum yang disepakati ulama, mulai dari Alquran, sunah, ijmak atau konsensus ulama, hingga kias.
  • Sumber hukum yang diperselisihkan ulama, seperti istish-hab, perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan, dan mashalih mursalah.
  • Lafal-lafal yang digunakan dalam ber-istidlal, beserta maknanya. Misalnya amr-nahy(perintah-larangan), nasih-mansukh (penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-khusus),muthlaq-muqayyad (mutlak-terikat), mujmal-mubayyan (global-dirinci), manthuq-mafhum(tekstual-implisit), dan lafal lainnya.
  • Ijtihad
  • Taklid
  • Tujuan dan hikmah pensyariatan suatu hukum
  • Dan masih banyak lagi.[8]
Sumber Usul Fikih
Usul fikih memiliki muara atau sumber, baik dari sisi dalil maupun asasnya. Di antaranya adalah:
  • Alquran dan sunah
  • Riwayat dari sahabat dan tabiin
  • Konsensus ulama salafussaleh
  • Kaidah bahasa Arab dan keterangan penguat yang dinukil dari bangsa Arab
  • Fitrah dan akal yang sehat
  • Ijtihad ulama yang tidak bertentangan dengan ketentuan syariat.[9]
Urgensi Usul Fikih
Mempelajari ilmu usul fikih memiliki berbagai urgensi ataupun faedah tersendiri yang menekankan betapa urgennya disiplin ilmu ini. Di antaranya adalah:
  • Sebagai fondasi pokok dalam ber-istidlal
  • Mengetahui pendapat yang benar di antara perbedaan pendapat para ulama
  • Mengetahui standar yang benar untuk ber-istidlal agar selamat dalam beristidlal, karena tidak setiap dalil sahih itu menghasilkan istidlal yang juga sahih
  • Memudahkan praktik ijtihad dalam “fikih kontemporer”
  • Menjelaskan ketentuan dalam fatwa, syarat menjadi seorang mufti, serta adab-adab dalam memberi dan meminta fatwa
  • Mengetahui sebab-sebab yang menimbulkan persilangan pendapat di antara para ulama sehingga dapat memberikan alasan dan uzur bagi mereka dalam hal tersebut
  • Menyeru kepada mengikuti dalil apa pun itu, serta meninggalkan fanatisme dan taklid buta
  • Menjaga akidah Islamiyah dengan menjaga usul istidlal dan bantahan terhadap syubhat orang-orang yang menyelisihinya
  • Menguatkan kaidah dalam berdiskusi dan berdialog secara ilmiah
  • Dan lain-lain.[10]
Akhir kata, semoga Allah memudahkan kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang berilmu, mengamalkannya dalam setiap sendi kehidupan kita, serta mengajarkannya kepada sesama.
Jadi bagi saya pelaksanaan Idul Qurban mau hari apapun adalah baik. Tinggal hati nurani saja yang menentukan kapan saya akan melaksanakannya.
[1] Lihat Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 6
[2] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 25
[3] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 32-34, dan Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 21
[4] Analogi ini kami dapat dari Ust. Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. –hafizhahullah, di dalam pelajaran Usul Fikih tahun 2010.
[5] Lihat Ilmu Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 17
[6] Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 27
[7] ibid
[8] Lihat Dirasat fi Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 10-15
[9] Lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 23
[10] Lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 23-24, dan referensi lainnya.

Daftar Pustaka:
  • Al-Jaizany, Muhammad bin Husain bin Hasan. 1416 H. Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah. Dar Ibnu al-Jauzi: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1.
  • Al-Juda’i, Abdullah bin Yusuf. Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh. Maktabah Syamilah.
  • Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1432 H. Syarh al-Ushul min Ilmi al-Ushul. Dar Ibnu al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2.
  • Khalaf, Abdulwahhab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Maktabah ad-Dakwah – Syabab al-Azhar (dari cetakan ke-8 Dar al-Qalam) – Maktabah Syamilah.
  • Babakr, Dr. Ali Ahmad. Dirasat fi Ushul al-Fiqh. Maktabah Syamilah.


No comments:

Post a Comment