Monday 7 September 2015

Polemik Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Di Negara Muslim dengan Demokrasi Terbesar...!



© Ilustrasi : sumber

Indonesia sebentar lagi dihadapkan dengan hajatan demokrasi terbesar yaitu Pemilihan Kepala Darah (PILKADA), Komisi Pemilihan Umum (KPU) meresmikan pelaksanaan pemiihan umum kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 2015. Pilkada serentak gelombang pertama akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Gelombang ini untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memasuki akhir masa jabatan (AMJ) 2015 dan semester pertama 2016. Kemudian gelombang kedua dilakukan pada Februari 2016 untuk AMJ semester kedua tahun 2016 dan seluruh daerah yang AMJ jatuh pada 2017. Gelombang ketiga dilaksanakan pada Juni 2018 untuk yang AMJ tahun 2018 dan AMJ tahun 2019.

Sejak awal, pilkada kali ini memunculkan banyak polemik dan perdebatan di masyarakat yang berpotensi memicu konflik dan jika itu terjadi bisa mengganggu stabilitas nasional. Semoga hal ini tidak terjadi.... Amien.

Pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 bisa dengan lancar dan damai dilalui, jika seluruh elemen masyarakat bersatu padu mengawal pelaksanaannya. Kalah menang adalah sebuah resiko. Pihak yang menang tak perlu jumawa, dan pihak yang kalah tak perlu marah. Jika ada sengketa silakan selesaikan melalui jalur hukum yang sudah disediakan. Tak perlu ada penggerakan massa atau pun bentuk aksi provokasi lainnya. Konflik hanya akan merugikan rakyat!

Pilkada Serentak 2015 ini menjadi pertaruhan demokrasi di Indonesia. Negeri kita ini dikenal sebagai negeri dengan pelaksanaan demokrasi terbesar di dunia. Uniknya, Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang melaksanakan demokrasi dengan sangat baik. Demikianlah secara positif Indonesia dikenal di dunia. Jika saja pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 berjalan dengan penuh konflik, kekacauan, maka hancurlah demokrasi di Indonesia. Jika sebaliknya berjalan dengan aman, maka demokrasi punya masa depan yang cerah di bumi Nusantara.
Nah sekarang yang jadi permasalahan apakah Demokrasi di Harmakan dalam Islam?


© Ilustrasi : sumber

Jika ada yang berpendapat bahwa pemilihan umum adalah bagian dari system demokrasi dan demokrasi tidak boleh kita ambil karena tidak islami, kita pastikan system demokrasi adalah system jahili (tidak islami) karena berasal dari peradaban barat, tetapi apakah kita dilarang mengambil salah satu bagian dari system itu yang sekiranya tidak bertentangan dengan islam?
Sebelum menyampaikan banyak hal. Sebagai contoh, kita harus mengetahui dahulu apa makna dari ”tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah”. Jika kita memiliki tafsir Alqur’an maupun hadist silahkkan untuk sering-sering dibaca dan lihat asbabun-nuzulnya, serta jangan asal mengambil dalil dan mengait-ngaitkanya dengan masalah yang kita hadapi atau untuk mendukung pendapat kita semata. Ini Hanya sebuah pesan…….kita adalah da’i dan bukan tukang vonis. Memberi teladan sebelum berdakwah. Memahamkan dan bukan menghakimi. Yang pokok sebelum yang cabang….
Tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah akan mengakibatkan kekafiran. Memang demikian bunyi ayat Allah di dalam surat Al-Maidah ayat 44. Lengkapnya begini:

ومن لم يحكم بما أنزل اللّه فأولئك هم الكافرون

Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir. (Al-Maidah: 44)

Namun apakah setiap orang yang tidak menjalankan hukum potong tangan, rajam, cambuk dan sejenisnya, otomatis agamanya berubah dari Islam menjadi kafir? Apakah kita semua yang tinggal di Indonesia yang notabene tidak menjalankan hukum-hukum itu otomatis dianggap bukan muslim? Apakah hukumnya kita menggunakan Helm dalam kendaraan, Memakai Internet, membuat SIM, sekolah/kuliah pada sekolah yang sekuler, hidup bernegara dalam sistem kafir? Padahal itu semua produk sistem kafir….
Tentunya kita perlu mengkaji ayat ini lebih dalam lagi. Bukan dengan semata logika bahasa dan pemahaman yang lebih mendalam. Apalagi kalau kita lihat asbabun-nuzulnya, maka sesungguhnya ayat ini turun dalam konteks memberi vonis kepada pemeluk agama samawi lainnya, baik yahudi mau punnasrani.Dan nyatanya oleh banyak ulama, makna dan pengertian ayat ini dikomentari dengan pendapat yang berbeda. Mari kita buka kitab-kitab tafsir yang muktabar. Di sana kita akan dapati beragam komentar, antara lain:

* Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra berkata ketika menjawab status kafir bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, sesuaiayat ini, “Kufur yang bukan seperi kufur kepada Allah dan hari akhir.”

* Dalam lain riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas berkomentar tentang ayat ini bahwa ada dua hukum yang dikandungnya. Pertama, siapa yang mengingkari kewajiban untuk menjalankan hukum Allah, maka dia kafir. Sedangkan siapa yang tidak mengingkarinya, hanya sekedar tidak mengerjakannya, maka dia fasik dan zhalim.”

* Ibrahim An-Nakhai sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thabari mengatakan bahwa ayat ini turun buat Bani Israil dan Allah merelakannya untuk umat ini untuk menggunakan hukum itu.

* Al-Hasan mengataan bahwa hukum-hukum Allah itu turun untukYahudi namun buat kita hukumnya wajib.
* Thawus berkata, “Kufur yang dimaksud bukanlah kufur yang meninggalkan millah (agama).”

* Atho’ berkomentar tentang maksud kata ‘kufur’ dalam ayat ini, “Kufur yang bukan kekufuran.”

Dan masih banyak lagi silang pendapat tentang pengertian ayat ini. Semuanya benar dan kita mudah saja untuk menarik kesimpulan secara umum.
Pertama, ayat ini memang turun kepada Bani Israil (yahudi), namun ketentuannya berlaku secara umum termasuk umat Islam.

Kedua, sesuai dengan fatwa Ibnu Abbas, kita tidak bisa main vonis bahwa siapa saja yang tinggal di negeri yang tidak menjalankan hukum Islam, boleh diberi vonis kafir. Sebab sangat boleh jadi banyak dari umat Islam yang tetap menginginkan dijalankannya hukum Islam, namun ternyata penguasa tidak mau menjalankannya. Entah karena pemerintahnya bukan muslim, atau muslim tapi tidak paham.

Ketiga, hukum kafir bisa dijatuhkan kepada para penanggung-jawab sebuah negeri, baik lembaga yudikatif, legislatif maupun eksekutif, apabila secara nyata mereka menolak penerapan seluruh hukum Islam. Sementara kesempatan sudah terbuka lebar.
Namun dalam hal ini, sebelum vonis kafir dikeluarkan, harus ada upaya untuk mempresentasikan hukum-hukum Islam secara terbuka, adil dan objektif kepada mereka. Hingga mereka tahu apa manfaat positif dari hukum Islam itu.Jangan sampai kita menjatuhkan vonis kepada orang yang tidak tahu permasalahan. Dan untuk mempresentasikannya, memang dibutuhkan waktu, tenaga, metode, pendekatan, diplomasi, sinergi, dan juga energi yang panjang. Tidak boleh setengah-setengah dan kurang tenaga.
Maka bila semua pesan sudah tersampaikan, semua ajakan telah diterima dengan jelas, sejelas matahari bersinar di siang cerah, bolehlah vonis kafir itu dijatuhkan kepada penguasa yang zalim dan menolak mentah-mentah syariah Islam secara 100 persen. Itu pun harus diawali dengan syura umat Islam dari seluruh penjuru negeri.
Adapun pemerintahan yang masih dijabat oleh banyak umat Islam, di mana mereka masih dalam proses untuk melakukan Islamisasi baik lewat jalur internal maupun eksternal, tidak pada tempatnya bila langsung divonis kafir. Sebab semua masih dalam proses, harus ada space untuk sebuah proses.

Celaan terhadap Ikhwan pun datang dari arah lain, yaitu demokrasi. Aktivitas Ikhwan dalam kancah politik dianggap sebagai indikasi keberhasilan fatamorgana demokrasi menipu dan membuai mereka. Partisipasi mereka dalam pemungutan suara atau pemilu dan parlemen adalah bukti taqlid terhadap sistem Barat dan sekulerisme yang justru kontraproduktif dengan upaya memerangi hegemoni Barat dan sekulerisme. Pengkritik menilai, setidak-tidaknya mayoritas dari mereka berpikir bahwa demokrasi adalah sistem kafir dari Barat dan merupakan syirik akbar. Bahkan pemungutan suara syirik juga karena pemilu adalah subsistem demokrasi. Demikianlah alasannya.

Kepada seluruh gerakan islam kami serukan: Jauhilah sikap Ashobiyah, ujub, menghujat saudara seiman dan jauhilah isue-isue yang sensitif antara saudara seiman…….Dan lakukan tabayun (klarifikasi) terlebih dahulu kepada gerakan islam tersebut secara langsung. Jangan buru-buru memvonis, hanya karena sebuah buku, isu, kejadian, kabar-kabur dan lain sebagainya. Kita memang mudah belajar bicara, tapi untuk belajar mendengar tidak semua gerakan islam mudah melakukanya, hanya orang-orang bijaklah yang mampu belajar bicara sekaligus belajar mendengar.
Ketahuilah permasalahan umat ini jauh lebih besar daripada permasalahan yang masih dapat diperdebatkan dalam masalah furu’ (cabang). Kapankah engkau sadar wahai diri yang mengaku muslim dan berahlak ?

“Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling memarahi, dan saling menjauhi. Janganlah sebagian kalian membeli apa yang telah dibeli sebagian lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang  muslim adalah saudara seorang muslim (yang lain), dia tidak boleh menzaliminya, menghinakannya, dan merendahkannya. Taqwa ada di sini –dan Nabi memberi isyarat ke arah dadanya tiga kali—cukuplah seseorang dianggap melakukan keburukan jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim (lainnya) adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

Ada sebuah pesan untuk saudaraku seiman dan seperjuangan, seluruhnya tanpa kecuali mari kita berjalan bersama, duduk bersama, membicarakan hal-hal yang dibutuhkan umat. Sungguh umat bingung melihat perilaku aktifis Islam seperti ini. Mereka tak ada tempat bertanya dan tak ada yang menolong ketika butuh pertolongan, maka datanglah misionaris yang akan menerkam mereka. Anda tahu, bahwa orang kafir bertepuk tangan karena kita saling bercakaran? Jangan- jangan mereka mengucapkan ”˜terima kasih” karena PR mereka untuk menghancurkan kita sudah diselasaikan oleh kita sendiri.

Saudaraku fiddin, Ibnu Umar pernah marah kepada pemuda yang bertanya apa hukum membunuh lalat, padahal di negeri pemuda itu Husein cucu nabi dipenggal kepalanya? Artinya, ada masalah besar di depan pemuda itu justru tidak ditanyakan, sementara lalat dibunuh malah ditanya. Wajar Ibnu Umar marah. Itulah fiqih salafus shalih. Imam al Qarrafi menyatakan bahwa ulama itu seperti dokter ia akan menyembuhkan penyakit yang paling membahayakan keselamatan jiwa pasien, sebelum penyakit yang ringan-ringan.

Ketahuilah bahwa para sahabat Rasulullah juga pernah melakukan kemaksiatan (perbuatan dosa), pernah berselisih dan berbeda pendapat. Padahal waktu itu Nabi Muhammmad saw masih hidup. Seperti sebagian sahabat yang tergoda dan berebut ghanimah (harta rampasan perang baik berupa benda maupun tawanan, laki-laki maupun perempuan) dan meninggalkan perintah Rasulullah untuk tetap berjaga diatas bukit apapun yang terjadi, apa yang terjadi akibat kemaksiatan itu. Kaum muslimin yang diambang kemenangan, menjadi hancur berantakan dan Rasulullah sampai tanggal gigi gerahamnya dan terluka. Sebagaimana Khalid bin Walid yang membunuh satu keluarga dalam suatu sarriyah (ekspedisi kecil militer) padahal tidak diperintahkan oleh Rasulullah saw, Sampai Rasulullah berdo’a kepada Allah ”Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang di perbuat khalid bin Walid” . Hal yang lain ketika sebagian sahabat Shalat diperjalanan dan sebagian yang lain shalat Setelah tiba di tempat tujuan. Permasalahan itu diajukan kepada Rasulullah, Apa jawaban Rasulullah, Beliau hanya tersenyum. Dan masih banyak lagi siroh/kisah yang menggambarkan kondisi diatas, jika kita belajar dari Siroh Nabawiyyah sampai kekhilafahan Turki Utsmani akan banyak kisah yang memalukan yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam sejarah umat islam dari perselisihan kecil sampai pertumpahan darah dan saling fitnah dikalangan kaum muslimin sendiri. Pelajarilah berbagai Siroh itu untuk memahami realitas umat dahulu dan masa kini….. jangan pernah mengaku paham terhadap permasalahn umat, jika tidak mengetahui sejarahnya dari zaman Kenabian hingga kondisi hari ini secara detail. Semua siroh/sejarah itu mengajarkan kepada kita bahwa sebaik apapun dan semulia apapun mereka adalah manusia dan bukan malaikat. 

Sebagaimana Rasulullah saw juga pernah ditegur oleh Allah, karena menolak seseorang buta yang datang kepadanya untuk beriman. Kisah ini diabadikan didalam Al-Quran agar umat manusia mengambil pelajaran. ”Dia (Muhammd) bermuka masam dan berpaling. Ketika seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu, barangkali dia datang untuk mensucikan diri”. (’Abasa: 1-3)

Sekali lagi kita harus terus belajar, jangan pernah merasa cukup dengan ilmu yang ada. Jangan pernah memvonis suatu hal dengan bekal satu atau dua buku, selayaknya sudah menjadi pakar dalam bidang Alqur’an, Hadist, dan Fikih. Orang baik dan jahat juga ada disemua gerakan islam. Dan harus kita akui sampai hari inipun kita pernah berbuat dosa, karena memang itulah sifat manusia tempatnya segala salah dan lupa. Sekali lagi belajar bicara semua orang bisa melakukanya, belajar mendengar hanya orang bijak yang dapat melakukanya.

Tentang Demokrasi

Sesungguhnya demokrasi saat ini mengalami deviasi makna. Tiap negara memiliki pemahaman sendiri. Demokratis di sebuah negara belum tentu demokratis di negara lain. Kaum muslimin yang mengharamkan demokrasi memahaminya sebagai bentuk pemerintahan rakyat dengan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Adapun di dalam Islam, kedaulatan tertinggi di tangan Allah Swt, bukan manusia; La Hukma Illa Lillah. Itu adalah perkataan yang benar, tetapi konteksnya tidak tepat. Tidak ada satupun aktivis Islam yang berbicara demokrasi dan mengambil manfaatnya benar-benar meyakini kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka pemahaman seperti itu.

Setiap muslim, apalagi mufti harus bertindak hati-hati dalam memberikan penilaian. Terlalu mudah memvonis syirk atau haram sama bahayanya dengan terlalu mudah dalam membolehkannya. Jika kita belum mengetahui betul masalah yang dihadapi, bertanyalah kepada ahlinya dalam hal ini, pakar atau pengamat politik. Jangan sampai fatwa yang keluar membuat gamang perjuangan yang sedang dilakukan atau dimanfaatkan musuh-musuh dakwah Islam untuk memarjinalkan politik umat Islam. Dalam hal ini, ada kaidah yang telah disepakati para ulama, Siapa yang menetapkan hukum sesuatu padahal dia tidak mengetahui secara pasti sesuatu tersebut, ketetapan hukumnya dianggap cacat walau secara kebetulan benar.

Harus diakui bahwa tidak ada kesamaan pandangan tentang makna demokrasi. Jadi, fatwa hukum yang diberikan pun tidak baku keharaman dan ke-syirk-annya. Kita pun dapat mengembalikan urusan itu kepada baraatul ashliyah (hukum awal)nya, yaitu mubah.

Ada pula yang memandang demokrasi berasal dari Barat yang kafir. Oleh karena itu, demokrasi (adalah) pola alien yang masuk ke dalam negeri-negeri muslim. Jika alasan itu dijadikan dasar pengharaman demokrasi, sesungguhnya hal itu tidak tepat. Memang benar demokrasi berasal dari sistem Barat. Namun, tidak ada yang mengingkari bahwa Rasulullah Saw pernah menggunakan cara orang Majusi (Persia) ketika Perang Ahzab, yaitu menggali khandaq (parit besar) atas usul sahabatnya dari Persia, Salman al Farisi. Nabi Saw pun memanfaatkan jasa tawanan Perang Badr untuk mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kaum muslimin walaupun tawanan itu musyrik. Rasulullah Saw pernah pula membubuhkan stempel ketika mengirim surat dakwah kepada para penguasa sekitar Jazirah Arab sebagai bentuk pengakuan beliau terhadap kebiasaan yang mereka lakukan agar mereka mau menerima surat dakwahnya. Jadi, tidak ada satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis nonmuslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap. Sekali lagi pemecahan teoritis dan pemecahan praktis. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, alQuran dan asSunnah. (sumber)






No comments:

Post a Comment