Indonesia
sebentar lagi dihadapkan dengan hajatan demokrasi terbesar yaitu Pemilihan
Kepala Darah (PILKADA), Komisi Pemilihan Umum (KPU)
meresmikan pelaksanaan pemiihan umum kepala daerah (pilkada) secara serentak
pada 2015. Pilkada serentak gelombang pertama akan dilaksanakan pada 9
Desember 2015. Gelombang ini untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
memasuki akhir masa jabatan (AMJ) 2015 dan semester pertama 2016. Kemudian
gelombang kedua dilakukan pada Februari 2016 untuk AMJ semester kedua tahun
2016 dan seluruh daerah yang AMJ jatuh pada 2017. Gelombang ketiga dilaksanakan
pada Juni 2018 untuk yang AMJ tahun 2018 dan AMJ tahun 2019.
Sejak awal, pilkada kali ini memunculkan banyak polemik dan
perdebatan di masyarakat yang berpotensi memicu konflik dan jika itu terjadi
bisa mengganggu stabilitas nasional. Semoga hal ini tidak terjadi.... Amien.
Pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 bisa dengan lancar dan
damai dilalui, jika seluruh elemen masyarakat bersatu padu mengawal
pelaksanaannya. Kalah menang adalah sebuah resiko. Pihak yang menang tak perlu
jumawa, dan pihak yang kalah tak perlu marah. Jika ada sengketa silakan
selesaikan melalui jalur hukum yang sudah disediakan. Tak perlu ada penggerakan
massa atau pun bentuk aksi provokasi lainnya. Konflik hanya akan merugikan
rakyat!
Pilkada
Serentak 2015 ini menjadi pertaruhan demokrasi di Indonesia. Negeri kita ini
dikenal sebagai negeri dengan pelaksanaan demokrasi terbesar di dunia. Uniknya,
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang melaksanakan
demokrasi dengan sangat baik. Demikianlah secara positif Indonesia dikenal di
dunia. Jika saja pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 berjalan dengan penuh
konflik, kekacauan, maka hancurlah demokrasi di Indonesia. Jika sebaliknya
berjalan dengan aman, maka demokrasi punya masa depan yang cerah di bumi
Nusantara.
Nah
sekarang yang jadi permasalahan apakah Demokrasi di Harmakan dalam Islam?
Jika ada yang berpendapat bahwa pemilihan umum adalah bagian
dari system demokrasi dan demokrasi tidak boleh kita ambil karena tidak islami,
kita pastikan system demokrasi adalah system jahili (tidak islami) karena
berasal dari peradaban barat, tetapi apakah kita dilarang mengambil salah satu
bagian dari system itu yang sekiranya tidak bertentangan dengan islam?
Sebelum menyampaikan banyak hal. Sebagai contoh, kita
harus mengetahui dahulu apa makna dari ”tidak berhukum dengan hukum yang
diturunkan Allah”. Jika kita memiliki tafsir Alqur’an maupun hadist silahkkan
untuk sering-sering dibaca dan lihat asbabun-nuzulnya, serta jangan asal
mengambil dalil dan mengait-ngaitkanya dengan masalah yang kita hadapi atau
untuk mendukung pendapat kita semata. Ini Hanya sebuah pesan…….kita adalah da’i
dan bukan tukang vonis. Memberi teladan sebelum berdakwah. Memahamkan dan bukan
menghakimi. Yang pokok sebelum yang cabang….
Tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah akan mengakibatkan
kekafiran. Memang demikian bunyi ayat Allah di dalam surat Al-Maidah ayat 44.
Lengkapnya begini:
ومن لم يحكم بما أنزل اللّه فأولئك هم الكافرون
Barang siapa yang tidak
berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang
kafir. (Al-Maidah: 44)
Namun apakah setiap orang yang tidak menjalankan hukum potong
tangan, rajam, cambuk dan sejenisnya, otomatis agamanya berubah dari Islam
menjadi kafir? Apakah kita semua yang tinggal di Indonesia yang notabene tidak
menjalankan hukum-hukum itu otomatis dianggap bukan muslim? Apakah hukumnya
kita menggunakan Helm dalam kendaraan, Memakai Internet, membuat SIM,
sekolah/kuliah pada sekolah yang sekuler, hidup bernegara dalam sistem kafir? Padahal
itu semua produk sistem kafir….
Tentunya kita perlu mengkaji ayat ini lebih dalam lagi. Bukan
dengan semata logika bahasa dan pemahaman yang lebih mendalam. Apalagi kalau
kita lihat asbabun-nuzulnya, maka sesungguhnya ayat ini turun dalam konteks memberi
vonis kepada pemeluk agama samawi lainnya, baik yahudi mau punnasrani.Dan nyatanya
oleh banyak ulama, makna dan pengertian ayat ini dikomentari dengan pendapat
yang berbeda. Mari kita buka kitab-kitab tafsir yang muktabar. Di sana kita
akan dapati beragam komentar, antara lain:
* Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra berkata ketika menjawab
status kafir bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, sesuaiayat ini,
“Kufur yang bukan seperi kufur kepada Allah dan hari akhir.”
* Dalam lain riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas berkomentar tentang ayat ini bahwa ada dua hukum yang dikandungnya. Pertama, siapa yang mengingkari kewajiban untuk menjalankan hukum Allah, maka dia kafir. Sedangkan siapa yang tidak mengingkarinya, hanya sekedar tidak mengerjakannya, maka dia fasik dan zhalim.”
* Ibrahim An-Nakhai sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thabari mengatakan bahwa ayat ini turun buat Bani Israil dan Allah merelakannya untuk umat ini untuk menggunakan hukum itu.
* Al-Hasan mengataan bahwa hukum-hukum Allah itu turun untukYahudi namun buat kita hukumnya wajib.
* Thawus berkata, “Kufur yang dimaksud bukanlah kufur yang meninggalkan millah (agama).”
* Atho’ berkomentar tentang maksud kata ‘kufur’ dalam ayat ini, “Kufur yang bukan kekufuran.”
Dan masih banyak lagi silang pendapat tentang pengertian ayat
ini. Semuanya benar dan kita mudah saja untuk menarik kesimpulan secara umum.
Pertama, ayat ini memang turun kepada Bani Israil (yahudi),
namun ketentuannya berlaku secara umum termasuk umat Islam.
Kedua, sesuai dengan fatwa Ibnu Abbas, kita tidak bisa main
vonis bahwa siapa saja yang tinggal di negeri yang tidak menjalankan hukum
Islam, boleh diberi vonis kafir. Sebab sangat boleh jadi banyak dari umat Islam
yang tetap menginginkan dijalankannya hukum Islam, namun ternyata penguasa
tidak mau menjalankannya. Entah karena pemerintahnya bukan muslim, atau muslim
tapi tidak paham.
Ketiga, hukum kafir bisa dijatuhkan kepada para penanggung-jawab
sebuah negeri, baik lembaga yudikatif, legislatif maupun eksekutif, apabila secara
nyata mereka menolak penerapan seluruh hukum Islam. Sementara kesempatan sudah
terbuka lebar.
Namun dalam hal ini, sebelum vonis kafir dikeluarkan, harus ada
upaya untuk mempresentasikan hukum-hukum Islam secara terbuka, adil dan
objektif kepada mereka. Hingga mereka tahu apa manfaat positif dari hukum Islam
itu.Jangan sampai kita menjatuhkan vonis kepada orang yang tidak tahu
permasalahan. Dan untuk mempresentasikannya, memang dibutuhkan waktu, tenaga,
metode, pendekatan, diplomasi, sinergi, dan juga energi yang panjang. Tidak
boleh setengah-setengah dan kurang tenaga.
Maka bila semua pesan sudah tersampaikan, semua ajakan telah
diterima dengan jelas, sejelas matahari bersinar di siang cerah, bolehlah vonis
kafir itu dijatuhkan kepada penguasa yang zalim dan menolak mentah-mentah
syariah Islam secara 100 persen. Itu pun harus diawali dengan syura umat Islam
dari seluruh penjuru negeri.
Adapun pemerintahan yang masih dijabat oleh banyak umat Islam,
di mana mereka masih dalam proses untuk melakukan Islamisasi baik lewat jalur
internal maupun eksternal, tidak pada tempatnya bila langsung divonis kafir.
Sebab semua masih dalam proses, harus ada space untuk sebuah proses.
Celaan terhadap Ikhwan pun datang dari arah lain, yaitu
demokrasi. Aktivitas Ikhwan dalam kancah politik dianggap sebagai indikasi
keberhasilan fatamorgana demokrasi menipu dan membuai mereka. Partisipasi
mereka dalam pemungutan suara atau pemilu dan parlemen adalah bukti taqlid
terhadap sistem Barat dan sekulerisme yang justru kontraproduktif dengan upaya
memerangi hegemoni Barat dan sekulerisme. Pengkritik menilai, setidak-tidaknya
mayoritas dari mereka berpikir bahwa demokrasi adalah sistem kafir dari Barat
dan merupakan syirik akbar. Bahkan pemungutan suara syirik juga karena pemilu
adalah subsistem demokrasi. Demikianlah alasannya.
Kepada seluruh gerakan islam kami serukan: Jauhilah sikap
Ashobiyah, ujub, menghujat saudara seiman dan jauhilah isue-isue yang sensitif
antara saudara seiman…….Dan lakukan tabayun (klarifikasi) terlebih dahulu
kepada gerakan islam tersebut secara langsung. Jangan buru-buru memvonis, hanya
karena sebuah buku, isu, kejadian, kabar-kabur dan lain sebagainya. Kita memang
mudah belajar bicara, tapi untuk belajar mendengar tidak semua gerakan islam
mudah melakukanya, hanya orang-orang bijaklah yang mampu belajar bicara
sekaligus belajar mendengar.
Ketahuilah permasalahan umat ini jauh lebih besar daripada
permasalahan yang masih dapat diperdebatkan dalam masalah furu’ (cabang).
Kapankah engkau sadar wahai diri yang mengaku muslim dan berahlak ?
“Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling
memarahi, dan saling menjauhi. Janganlah sebagian kalian membeli apa yang telah
dibeli sebagian lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara seorang muslim (yang lain), dia tidak boleh
menzaliminya, menghinakannya, dan merendahkannya. Taqwa ada di sini –dan Nabi
memberi isyarat ke arah dadanya tiga kali—cukuplah seseorang dianggap melakukan
keburukan jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas
muslim (lainnya) adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR.
Muslim)
Ada sebuah pesan untuk saudaraku seiman dan seperjuangan,
seluruhnya tanpa kecuali mari kita berjalan bersama, duduk bersama,
membicarakan hal-hal yang dibutuhkan umat. Sungguh umat bingung melihat
perilaku aktifis Islam seperti ini. Mereka tak ada tempat bertanya dan tak ada
yang menolong ketika butuh pertolongan, maka datanglah misionaris yang akan
menerkam mereka. Anda tahu, bahwa orang kafir bertepuk tangan karena kita
saling bercakaran? Jangan- jangan mereka mengucapkan ”˜terima kasih” karena PR
mereka untuk menghancurkan kita sudah diselasaikan oleh kita sendiri.
Saudaraku fiddin, Ibnu Umar pernah marah kepada pemuda yang
bertanya apa hukum membunuh lalat, padahal di negeri pemuda itu Husein cucu
nabi dipenggal kepalanya? Artinya, ada masalah besar di depan pemuda itu justru
tidak ditanyakan, sementara lalat dibunuh malah ditanya. Wajar Ibnu Umar marah.
Itulah fiqih salafus shalih. Imam al Qarrafi menyatakan bahwa ulama itu seperti
dokter ia akan menyembuhkan penyakit yang paling membahayakan keselamatan jiwa
pasien, sebelum penyakit yang ringan-ringan.
Ketahuilah bahwa para sahabat Rasulullah juga pernah melakukan
kemaksiatan (perbuatan dosa), pernah berselisih dan berbeda pendapat. Padahal
waktu itu Nabi Muhammmad saw masih hidup. Seperti sebagian sahabat yang tergoda
dan berebut ghanimah (harta rampasan perang baik berupa benda maupun tawanan,
laki-laki maupun perempuan) dan meninggalkan perintah Rasulullah untuk tetap
berjaga diatas bukit apapun yang terjadi, apa yang terjadi akibat kemaksiatan
itu. Kaum muslimin yang diambang kemenangan, menjadi hancur berantakan dan
Rasulullah sampai tanggal gigi gerahamnya dan terluka. Sebagaimana Khalid bin
Walid yang membunuh satu keluarga dalam suatu sarriyah (ekspedisi kecil
militer) padahal tidak diperintahkan oleh Rasulullah saw, Sampai Rasulullah
berdo’a kepada Allah ”Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang di perbuat
khalid bin Walid” . Hal yang lain ketika sebagian sahabat Shalat diperjalanan
dan sebagian yang lain shalat Setelah tiba di tempat tujuan. Permasalahan itu
diajukan kepada Rasulullah, Apa jawaban Rasulullah, Beliau hanya tersenyum. Dan
masih banyak lagi siroh/kisah yang menggambarkan kondisi diatas, jika kita
belajar dari Siroh Nabawiyyah sampai kekhilafahan Turki Utsmani akan banyak
kisah yang memalukan yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam sejarah umat
islam dari perselisihan kecil sampai pertumpahan darah dan saling fitnah
dikalangan kaum muslimin sendiri. Pelajarilah berbagai Siroh itu untuk memahami
realitas umat dahulu dan masa kini….. jangan pernah mengaku paham terhadap
permasalahn umat, jika tidak mengetahui sejarahnya dari zaman Kenabian hingga
kondisi hari ini secara detail. Semua siroh/sejarah itu mengajarkan kepada kita
bahwa sebaik apapun dan semulia apapun mereka adalah manusia dan bukan
malaikat.
Sebagaimana Rasulullah saw juga pernah ditegur oleh Allah, karena
menolak seseorang buta yang datang kepadanya untuk beriman. Kisah ini
diabadikan didalam Al-Quran agar umat manusia mengambil pelajaran. ”Dia
(Muhammd) bermuka masam dan berpaling. Ketika seorang buta datang kepadanya.
Tahukah kamu, barangkali dia datang untuk mensucikan diri”. (’Abasa: 1-3)
Sekali lagi kita harus terus belajar, jangan pernah merasa cukup
dengan ilmu yang ada. Jangan pernah memvonis suatu hal dengan bekal satu atau
dua buku, selayaknya sudah menjadi pakar dalam bidang Alqur’an, Hadist, dan
Fikih. Orang baik dan jahat juga ada disemua gerakan islam. Dan harus kita akui
sampai hari inipun kita pernah berbuat dosa, karena memang itulah sifat manusia
tempatnya segala salah dan lupa. Sekali lagi belajar bicara semua orang bisa
melakukanya, belajar mendengar hanya orang bijak yang dapat melakukanya.
Tentang Demokrasi
Sesungguhnya demokrasi saat ini mengalami deviasi makna. Tiap
negara memiliki pemahaman sendiri. Demokratis di sebuah negara belum tentu
demokratis di negara lain. Kaum muslimin yang mengharamkan demokrasi
memahaminya sebagai bentuk pemerintahan rakyat dengan kedaulatan tertinggi di
tangan rakyat. Adapun di dalam Islam, kedaulatan tertinggi di tangan Allah Swt,
bukan manusia; La Hukma Illa Lillah. Itu adalah perkataan yang benar, tetapi
konteksnya tidak tepat. Tidak ada satupun aktivis Islam yang berbicara
demokrasi dan mengambil manfaatnya benar-benar meyakini kedaulatan tertinggi
ada di tangan rakyat. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka
pemahaman seperti itu.
Setiap muslim, apalagi mufti harus bertindak hati-hati dalam
memberikan penilaian. Terlalu mudah memvonis syirk atau haram sama bahayanya
dengan terlalu mudah dalam membolehkannya. Jika kita belum mengetahui betul
masalah yang dihadapi, bertanyalah kepada ahlinya dalam hal ini, pakar atau
pengamat politik. Jangan sampai fatwa yang keluar membuat gamang perjuangan
yang sedang dilakukan atau dimanfaatkan musuh-musuh dakwah Islam untuk
memarjinalkan politik umat Islam. Dalam hal ini, ada kaidah yang telah
disepakati para ulama, Siapa yang menetapkan hukum sesuatu padahal dia tidak
mengetahui secara pasti sesuatu tersebut, ketetapan hukumnya dianggap cacat
walau secara kebetulan benar.
Harus diakui bahwa tidak ada kesamaan pandangan tentang makna
demokrasi. Jadi, fatwa hukum yang diberikan pun tidak baku keharaman dan
ke-syirk-annya. Kita pun dapat mengembalikan urusan itu kepada baraatul ashliyah
(hukum awal)nya, yaitu mubah.
Ada pula yang memandang demokrasi berasal dari Barat yang kafir.
Oleh karena itu, demokrasi (adalah) pola alien yang masuk ke dalam
negeri-negeri muslim. Jika alasan itu dijadikan dasar pengharaman demokrasi,
sesungguhnya hal itu tidak tepat. Memang benar demokrasi berasal dari sistem
Barat. Namun, tidak ada yang mengingkari bahwa Rasulullah Saw pernah
menggunakan cara orang Majusi (Persia) ketika Perang Ahzab, yaitu menggali
khandaq (parit besar) atas usul sahabatnya dari Persia, Salman al Farisi. Nabi
Saw pun memanfaatkan jasa tawanan Perang Badr untuk mengajarkan baca tulis
kepada anak-anak kaum muslimin walaupun tawanan itu musyrik. Rasulullah Saw
pernah pula membubuhkan stempel ketika mengirim surat dakwah kepada para
penguasa sekitar Jazirah Arab sebagai bentuk pengakuan beliau terhadap
kebiasaan yang mereka lakukan agar mereka mau menerima surat dakwahnya. Jadi,
tidak ada satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari
pemikiran teoritis dan pemecahan praktis nonmuslim dalam masalah dunia selama
tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum
yang tetap. Sekali lagi pemecahan teoritis dan pemecahan praktis. Oleh karena
hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali.
Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang
dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, alQuran dan asSunnah. (sumber)
No comments:
Post a Comment