Sangat menguras emosi dan air mata kisah dari seorang Ana
Abdul Hamid yang suaminya berpoligami. Melalui Video Poligami yang
diunggah di Youtube, Ana Abdul Hamidberbagi kisah sedih tentang suaminya
ini.
(Video : saya_tidak_sanggup_berbagi)
Video ini dibuat sebagai video terakhir untuk ulang tahun
perkawinan Ana dan suaminya yang kelima yang jatuh pada 20 Oktober 2015. Disana
Ana menceritakan bagaimana ia tidak tahan dengan suaminya yang melakukan
poligami. “Maaf jika selama 5 tahun ini banyaak sekaalii kekurangan sehingga
harus ditutupi dengan kelebihan dari perempuan lain..” ungkap Ana melalui
deskripsi yang ditulis.
Suami Ana bernama Erik, mereka menikah sudah 5 tahun.
Ketika suaminya berpoligami usia Ana baru 25 tahun. Sekarang Ana berusia 16
tahun. Kala itu Ana terpaksa menyetujui suaminya untuk poligami atau menikah
lagi dengan wanita lain.
“Saat itu posisinya memang harus poligami, waktu itu rasa
sayang saya dengan suami besar sekali, mau nggak mau saya harus bisa terima.
Setelahnya saya berusaha menjalani, tapi ternyata berat,” ujar Ana
kepada Woli pop dan dilansir Hargatop LifeStyle, Jumat (23/10/2015). (baca
: video-poligami-kisah-suami-ana).
Bagaiman
islam memandang poligami ini....?
Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh
dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan)[6].
Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,
{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS
an-Nisaa’:3).
Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan
wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat
ini, yaitu firman-Nya,
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).
Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di
atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan
menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil[7],
atau maknanya, “Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”.
Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya,
{وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ
شَاءَ فَلْيَكْفُرْ}
“Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu;
maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna
ayat ini adalah larangan melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk
melakukannya[8].
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya,
“Apakah poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?”
Beliau menjawab rahimahullah, “Poligami (hukumnya) disunnahkan
(dianjurkan) bagi yang mampu, karena firman Allah Ta’ala (beliau
menyabutkan ayat tersebut di atas), dan karena perbuatan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi
sembilan orang wanita, Allah memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan
(keberadaan) para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut,
dan ini (menikahi sembilan orang wanita) termasuk kekhususan bagi beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
boleh menikahi lebih dari empat orang wanita[9].
Karena dalam poligami banyak terdapat kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum
laki-laki maupun permpuan, bahkan bagi seluruh umat Islam. Sebab dengan
poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan
pandangan, menjaga kemaluan (kesucian), memperbanyak (jumlah) keturunan, dan
(memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin beberapa orang wanita dan membimbing
mereka kepada kebaikan, serta menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan dan
penyimpangan. Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir
berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja), karena
Allah Ta’alaberfirman,
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).
Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua
kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat[10].
Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin berkata, “…Seorang laki-laki jika dia mampu dengan harta, badan
(tenaga) dan hukumnya (bersikap adil), maka lebih utama (baginya) untuk
menikahi (dua) sampai empat (orang wanita) jika dia mampu. Dia mampu dengan
badannya, karena dia enerjik, (sehingga) dia mampu menunaikan hak yang
khusus bagi istri-istrinya. Dia (juga) mampu dengan hartanya (sehingga) dia
bisa memberi nafkah (yang layak) bagi istri-istrinya. Dan dia mampu dengan
hukumnya untuk (bersikap) adil di antara mereka. (Kalau dia mampu seperti ini)
maka hendaknya dia menikah (dengan lebih dari seorang wanita), semakin banyak
wanita (yang dinikahinya) maka itu lebih utama. Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata, “Orang yang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak
istrinya[11]”…[12].
Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Adapun
(hukum) asal (pernikahan) apakah poligami atau tidak, maka aku tidak mendapati
ucapan para (ulama) ahli tafsir, yang telah aku baca kitab-kitab tafsir mereka
yang membahas masalah ini. Ayat al-Qur’an yang mulia (surat an-Nisaa’:3)
menunjukkan bahwa seorang yang memiliki kesiapan (kesanggupan) untuk
menunaikan hak-hak para istri secara sempurna maka dia boleh untuk berpoligami
(dengan menikahi dua) sampai empat orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki
kesiapan (kesanggupan) cukup dia menikahi seorang wanita, atau memiliki budak.
Wallahu a’lam”[13].
Hikmah dan Manfaat Agung Poligami
Karena poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang
mempunyai nama al-Hakim, artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum
yang maha adil dan hikmah[14] yang
maha sempurna, maka hukum Allah Ta’ala yang mulia ini tentu memiliki
banyak hikmah dan faidah yang agung, di antaranya:
Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan dalam
kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga
kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan
dirinya. Atau jika suami dan istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga
kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat untuk berpisah dengan
anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika
tidak berpoligami. Maka masalah ini tidak akan bisa terselesaikan kecuali
dengan poligami, insya Allah.
Kedua: Pernikahan merupakan sebab terjalinnya
hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia, setelah
hubungan nasab. Allah Ta’ala berfirman,
{وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا
وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا}
“Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani),
lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan
kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa” (QS
al-Furqaan:54).
Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan
kedekatan (antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang
dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[15].
Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya
(kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka,
yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak
yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.
Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang memiliki
nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya
memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga
kehormatan dirinya. Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia
ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang dihalalkan (agama
Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia
adalah dengan dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya[16].
Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata istri
mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka dengan
disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.
Keenam: Terkadang juga seorang suami sering
bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya ketika dia
sedang bepergian.
Ketujuh: Banyaknya peperangan dan disyariatkannya
berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki yang terbunuh
sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka membutuhkan suami
untuk melindungi mereka. Maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan
solusi terbaik.
Kedelapan: Terkadang seorang lelaki tertarik/kagum
terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama atau akhlaknya,
maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka berdua.
Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara
suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian sang suami
menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang pertama,
maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya
banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan persiapan berjihad melawan
orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi
jumlah keturunan.
Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami, seorang
istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut
ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya
sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak
didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.
Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami,
semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami dengan
istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari
istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan sangat rindu pada istrinya
tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.
Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu
saja orang yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu
sedikitpun terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang
disyariatkan-Nya. Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu
adalah menunaikan perintah Allah Ta’ala dan mentaati-Nya dalam
semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya[17].
Arti Sikap “Adil” dalam Poligami
Allah Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk
selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya
maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat
Allah Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Ta’alamensyariatkan
agamanya di atas keadilan yang sempurna[18].
Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ
ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS an-Nahl:90).
Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami,
yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal
makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka[19].
Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang
sekecil-kecilnya[20],
yang ini jelas di luar kemampuan manusia[21].
Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di
antaranya karena hawa nafsu dan ketidakpahaman terhadap agama, termasuk
kerancuan dalam memahami firman AllahTa’ala[22],
{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ
حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).
Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah
memahami firman Allah yang mulia ini.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari para ulama
ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Ta’ala): “Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, (artinya: berlaku
adil) dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan
kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni bagi
hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “…karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah
kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang
menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu
a’lam”[23].
Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini
dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa’(bersikap adil di antara para istri)[24],
dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan imam al-Bukhari
tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dengan membawakan
ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini (adil yang tidak mampu
dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi,
dan hadits Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam (yang shahih)
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan
semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi
masing-masing dari mereka. Jika seorang suami telah menunaikan bagi
masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah
(biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan
apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi
hadiah (kepada salah satu dari mereka)…Imam at-Tirmidzi berkata, “Artinya:
kecintaan dan kecenderungan (dalam hati)”, demikianlah penafsiran para ulama
(ahli tafsir)…Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah,
dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumabeliau berkata ketika menafsirkan
ayat di atas, “Yaitu: kecintaan (dalam hati) dan jima’(hubungan intim)…[25].
Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini)
Allah Ta’ala memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap
adil di antara istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati
dalam cinta, berhubungan intim dan ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini)
Allah menerangkan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak
mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya
melebihi yang lainnya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya Allah, inilah pembagianku
(terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau
mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki”[26].
Kemudian Allah melarang “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata, “(Artinya): janganlah kamu sengaja
berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku
adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini
termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)”[27].
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas):
Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di
antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran
mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan
dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana
keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan
al-Bashri, dan Dhahhak bin Muzahim”[28].
Kecemburuan dan Cara Mengatasinya
Cemburu adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada dalam
diri manusia, yang pada asalnya tidak tercela, selama tidak melampaui batas.
Maka dalam hal ini, wajib bagi seorang muslim, terutama bagi seorang wanita
muslimah yang dipoligami, untuk mengendalikan kecemburuannya. Karena
kecemburuan yang melampaui batas bisa menjerumuskan seseorang ke dalam
pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk sangka, dusta, mencela[29],
atau bahkan kekafiran, yaitu jika kecemburuan tersebut menyebabkannya membenci
ketentuan hukum yang Allah syariatkan. Allah Ta’ala berfirman,
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ
أَعْمَالَهُمْ}
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka
benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah
membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).
Demikian pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki untuk
lebih bijaksana dalam menghadapi kecemburuan para wanita, karena hal ini juga
terjadi pada diri wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menghadapi semua itu dengan sabar dan
bijaksana, serta menyelesaikannya dengan cara yang baik[30].
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Asal sifat cemburu
adalah merupakan watak bawaan bagi wanita, akan tetapi jika kecemburuan
tersebut melampuai batas dalam hal ini sehingga melebihi (batas yang wajar),
maka itulah yang tercela. Yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Atik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya di
antara sifat cemburu ada yang dicintai oleh Allah dan ada yang dibenci-Nya.
Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah al-ghirah (kecemburuan)
terhadap keburukan. Sedangkan kecemburuan yang dibenci-Nya adalah
kecemburuan terhadap (perkara) yang bukan keburukan”[31].[32]
Sebab-sebab yang mendorong timbulnya kecemburuan yang
tercela (karena melampaui batas) adalah:
– Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Ta’ala.
– Godaan setan
– Hati yang berpenyakit
– Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan menunaikan
hak sebagian dari istri-istrinya.
– Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.
– Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan seorang
istrinya di hadapan istrinya yang lain[33].
Adapun cara mengatasi kecemburuan ini adalah:
– Bertakwa kepada Allah Ta’ala.
– Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar bagi
wanita yang bersabar dalam mengendalikan dan mengarahkan kecemburuannya sesuai
dengan batasan-batasan yang dibolehkan dalam syariat.
– Menjauhi pergaulan yang buruk.
– Bersangka baik.
– Bersikap qana’ah (menerima segala ketentuan
Allah I dengan lapang dada).
– Selalu mengingat kematian dan hari akhirat
– Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan kecemburuan
tersebut[34].
Nasehat
Bagi Yang Berpoligami dan Dipoligami[35]
1. Nasehat untuk suami yang berpoligami
– Bersikap adillah terhadap istri-istrimu dan hendaklah
selalu bersikap adil dalam semua masalah, sampai pun dalam masalah yang tidak
wajib hukumnya. Janganlah kamu bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari
istri-istrimu.
– Berlaku adillah terhadap semua anakmu dari semua
istrimu. Usahakanlah untuk selalu mendekatkan hati mereka, misalnya dengan
menganjurkan istri untuk menyusui anak dari istri yang lain. Pahamkanlah kepada
mereka bahwa mereka semua adalah saudara. Jangan biarkan ada peluang bagi setan
untuk merusak hubungan mereka.
– Sering-seringlah memuji dan menyebutkan kelebihan semua
istri, dan tanamkanlah kepada mereka keyakinan bahwa tidak ada kecintaan dan
kasih sayang yang (abadi) kecuali dengan mentaati Allah Ta’ala dan
mencari keridhaan suami.
– Janganlah menceritakan ucapan salah seorang dari mereka
kepada yang lain. Janganlah menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia, karena
rahasia itu akan cepat tersebar dan disampaikannya kepada istri yang lain, atau
dia akan membanggakan diri bahwa dia mengetahui rahasia suami yang tidak
diketahui istri-istri yang lain.
– Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik
dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang
lain. Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta
kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan
yang diharapkan.
– Janganlah kamu mendengarkan ucapan salah seorang dari
mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut,
supaya mereka tidak terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain.
2. Nasehat untuk istri pertama
– Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan
ketahuilah bahwa sikap menentang dan tidak menerima akan membahayakan bagi
agama dan kehidupanmu.
– Benahilah semua kekuranganmu yang diingatkan oleh
suamimu. Karena boleh jadi itu merupakan sebab dia berpoligami. Kalau
kekurangan-kekurangan tersebut berhasil kamu benahi maka bersyukurlah kepada
Allah Ta’ala atas petunjuk-Nya.
– Berikanlah perhatian besar kepada suamimu dan
sering-seringlah memujinya, baik di hadapan atau di belakangnya, terutama di
hadapan keluargamu atau teman-temanmu, karena ini termasuk hal yang bisa
memperbaiki hati dan lisanmu, serta menyebabkan keridhaan suami padamu. Dengan
itu kamu akan menjadi teladan yang baik bagi para wanita yang menentang dan
mengingkari syariat poligami, atau mereka yang merasa disakiti ketika suaminya
berpoligami.
– Janganlah kamu mendengarkan ucapan orang jahil yang
punya niat buruk dan ingin menyulut permusuhan antara kamu dengan suamimu, atau
dengan madumu. Janganlah kamu mudah menyimpulkan sesuatu yang kamu dengar
sebelum kamu meneliti kebenaran berita tersebut.
– Janganlah kamu menanamkan kebencian dan permusuhan di
hati anak-anakmu kepada istri-istri suamimu dan anak-anak mereka, karena mereka
adalah saudara dan sandaran anak-anakmu. Ingatlah bahwa tipu daya yang buruk
hanya akan menimpa pelakunya.
– Jangalah kamu merubah sikap dan perlakuanmu terhadap
suamimu. Janganlah biarkan dirimu menjadi bahan permainan setan, serta mintalah
pertolongan dan berdolah kepada Allah Ta’ala agar Dia menguatkan
keimanan dan kecintaan dalam hatimu.
3. Nasehat untuk istri yang baru dinikahi
– Ketahuilah bahwa kerelaanmu dinikahi oleh seorang yang
telah beristri adalah kebaikan yang besar dan menunjukkan kuatnya iman dan
takwa dalam hatimu, insya Allah. Pahamilah ini semua dan harapkanlah ganjaran
pahala dari Allah atas semua itu.
– Gunakanlah waktu luangmu ketika suamimu berada di rumah
istrinya yang lain dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan ceramah-ceramah agama
yang bermanfaat, dan membaca buku-buku yang berfaedah, atau gunakanlah untuk
membersihkan rumah dan merawat diri.
– Jadilah engkau sebagai da’i (penyeru) manusia ke jalan
Allah Ta’ala dalam hukum-Nya yang mulia ini. Fahamkanlah mereka
tentang hikmah-Nya yang agung dalam syariat poligami ini. Janganlah engkau
menjadi penghalang bagi para wanita untuk menerima syariat poligami ini.
– Janganlah bersikap enggan untuk membantu/mengasuh istri-istri
suami dan anak-anak mereka jika mereka membutuhkan pertolonganmu. Karena
perbuatan baikmu kepada mereka bernilai pahala yang agung di sisi Allah dan
menjadikan suami ridha kepadamu, serta akan menumbuhkan kasih sayang di antara
kamu dan mereka.
– Janganlah kamu membeberkan kekurangan dan keburukan
istri suami yang lain. Jangan pernah menceritakan kepada orang lain bahwa suami
berpoligami karena tidak menyukai istrinya yang pertama, karena ini semua
termasuk perangkap setan.
– Jangan kamu berusaha menyulut permusuhan antara suami
dengan istrinya yang lain, agar dia semakin sayang padamu. Karena ini adalah
perbuatan namiimah (mengadu domba) yang merupakan dosa besar.
Berusahalah untuk selalu mengalah kepadanya, karena ini akan mendatangkan
kebaikan yang besar bagi dirimu.
6] Lihat
kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 18).
[7] Maksudnya
adil yang sesuai dengan syariat, sebagaimana yang akan kami terangkan,insya
Allah.
[8] Lihat
keterangan imam Ibnu Jarir dalam tafsir beliau (4/238).
[9] Sebagaimana
yang diterangkan dalam bebrapa hadits yang shahih, diantaranya HR at-Tirmidzi
(3/435) dan Ibnu Majah (1/628), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan syaikh
al-Albani.
[10] Dinukil
dalam majalah “al-Balaagh” (edisi no. 1028, tgl 1 Rajab 1410 H/28 Januari 1990
M).
[11] Atsar
yang shahih riwayat imam al-Bukhari (no. 4787).
[12] Liqaa-il
baabil maftuuh (12/83).
[13] Fataawal
mar’atil muslimah (2/690).
[14] Hikmah
adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari
kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala, lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal.
131).
[15] Lihak
keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam “Fathul Baari” (9/143).
[16] Majmuu’ul
fataawa syaikh al-‘Utsaimiin (4/12 – kitabuz zawaaj).
[17] Lihat
kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 31-32).
[18] Lihat
“Tafsir Ibnu Katsir” (4/596) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 447).
[19] Lihat
kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 69).
[20] Sebagaimana
persangkaan keliru orang-orang yang tidak memahami pengertian adil yang
sebenarnya.
[21] Sebagaimana
penjelasan para ulama yang akan kami nukil setelah ini, insya Allah.
[22] Bahkan
kesalahpahaman dalam memahami ayat ini menyebabkan sebagian orang beranggapan
bahwa poligami tidak boleh dilakukan, karena orang yang berpoligami tidak
mungkin bisa bersikap adil !!? Kita berlindung kepada Allah dari penyimpangan
dalam memahami agama-Nya.
[23] Kitab
“al-Umm” (5/158).
[24] Dalam
kitab “shahihul Bukhari” (5/1999).
[25] Kitab
“Fathul Baari” (9/313).
[26] Hadits
ini adalah hadits yang lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2134),
at-Tirmidzi (no. 1140), an-Nasa’i (no. 3943) dan Ibnu Majah (no. 1971),
dinyatakan lemah oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, an-Nasa’i dan syaikh al-Albani dalam
“Irwa-ul ghalil” (7/82).
[27] Kitab
“Tafsiirul Qurthubi” (5/387).
[28] Kitab
“Tafsir Ibnu Katsir” (1/747).
[29] Lihat
kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 136).
[30] Ibid.
[31] HR
an-Nasa’i (no. 2558) dan Ibnu Hibban (no. 295), dinyatakan hasan oleh Syaikh
al-Albani.
[32] Kitab
“Fathul Baari” (9/326).
[33] Lihat
kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 140).
[34] Ibid
(hal. 141).
[35] Lihat
kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 143-145).
(sumber : muslim.or.id)
No comments:
Post a Comment